ETNOMETODOLOGI



PENDAHULUAN
Etnometodologi sebagai sebuah cabang studi sosiologi berurusan dengan pengungkapan realitas dunia kehidupan (lebenswelt) dari individu atau masyarakat. Sekalipun etnometodologi oleh beberapa pakar dipandang sebagai sebuah studi pembaharuan dalam sosiologi, etnometodologi memiliki kesamaan dengan beberapa pendekatan sosiologi sebelumnya yaitu fenomenologi.
Grafinkel di saat awal memunculkan atau mengembangkan studi ini sedang mendalami fenomenologi Alfred Schutz di New School For Social Research. Terdapat dugaan kuat bahwa fenomenologi Schutz sangat mempengaruhi etnometodologi Grafinkel.

Ini terbukti dari asumsi sekaligus pendirian dari etnometodologi itu sendiri. Bagi Schutz, dunia sehari-hari merupakan dunia inter subjektif yang dimiliki bersama orang lain dengan siapa kita berinteraksi. Dunia inter subjektif itu sendiri terdiri dari realitas-realitas yang sangat berganda di mana realitas sehari-hari tampil sebagai realitas yang utama. Schutz memberikan perhatian pada dunia sehari-hari yang merupakan common sense.

PEMBAHASAN
A.  Istilah Etnometodologi
Etnometodologi menurut Heritage adalah kumpulan pengetahuan berdasarkan akal sehat dan rangkaian prosedur dan pertimbangan (metode) yang dengannya masyarakat biasa dapat memahami, mencari tahu dan bertindak berdasarkan situasi dimana mereka menemukan dirinya sendiri. Istilah etnometodologi yang berakar pada bahsa Yunani berarti “metode” yang digunakan orang dalam menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari.
Etnometodologi merupakan suatu teori dalam sosiologi yang mempelajari sumber-sumber daya umum, prosedur dan praktek dimana anggota-anggota suatu masyarakat memproduksi dan mengenali objek-objek, peristiwa-peristiwa dan tindakan-tindakan sosial yang dapat diindera. Kajian etnometodologi ini muncul sebagai reaksi atas beberapa perspektif sosiologis, khususnya structural fungsionalisme, yang menganggap bahwa tingkah laku ditentukan secara kausalitas oleh faktor-faktor struktur sosial.
Etnometodologi diciptakan oleh Harold Garfinkel di akhir tahun 1940-an tetapi baru menjadi sistematis setelah diterbitkan karyanya yang berjudul Studies in Ethnomethodology pada tahun 1967. Garfinkel adalah dosen pada UCLA di West Coast. Akan tetapi baru dikenal oleh kalangan luas (oleh profesi-profesi lain) pada akhir 1960-an dan awal 1970-an. Karyanya tersebut telah menarik minat sosiolog diantaranya Blum, Cicourel, Douglas, McHugh, Sacks, Schegloff, Sudnow, Wieder, Wilson dan Zimmerman.
Garfinkel melukiskan sasaran perhatian etnometodologi adalah realitas objektif fakta sosial, fenomena fundamental sosiologi karena merupakan setiap produk masyarakat setempat yang diciptakan dan diorganisir secara almiah, terus menerus, prestasi praktis, selalu, hanya, pasti dan menyeluruh, tanpa henti dan peluang menghindar, menyembunyikan diri, melampaui atau menunda.
Garfinkel mememunculkan etnometodologi sebagai bentuk ketidaksutujannya terhadap pendekatan-pendekatan sosiologi konvensional selalu dilengkapi asumsi, teori, proposisi, dan kategori yang membuat peneliti tidak bebas didalam memahami kenyataan social menurut situasi dimana kenyataan sosial tersebut berlangsung. Garfinkel sendiri mendefenisikan etnometodologi sebagai penyelidikan atas ungkapan-ungkapan indeksikal dan tindakan-tindakan praktis lainnya sebagai kesatuan penyelesaian yang sedang dilakukan dari praktek-praktek kehidupan sehari-hari yang terorganisir.
Etnometodologi Grafinkel ditujukan untuk meneliti aturan interaksi sosial sehari-hari yang berdasarkan akal sehat. Apa yang dimaksudkan dengan dunia akal sehat adalah sesuatu yang biasanya diterima begitu saja, asumsi-asumsi yang berada di baliknya dan arti yang dimengerti bersama. Inti dari etnometologi Granfikel adalah mengungkapkan dunia akal sehat dari kehidupan sehari-hari.   
ada kesamaan antara metode yang digunakan Garfinkel dengan dengan pemikiran Wittgenstein yang mengatakan bahwa pemahaman umum terdapat dalam percakapan serta transaksi sosial sehari-hari. Etnometodologi di satu sisi meneliti biografi dan maksud yang dikandung oleh aktor-aktor sosial dan di sisi lain menganalisis pemahaman umum (common-sense). Sebagaimana yang diungkapkan dalam karyanya Studies in Ethnometodology dia menunjukkan bahwa:
1.      Perbincangan sehari-hari secara umum memaparkan sesuatu yang lebih memiliki makna daripada langsung kata-kata itu sendiri.
2.      Perbincangan tersebut merupakan praduga konteks makna yang umum.
3.      Pemahaman secara umum yang meyertai atau yang dihasilkan dari perbincangan tersebut mengandung suatu proses penafsiran terus menerus secara intersubjektif.
4.      Transaksi dan  peristiwa sehari-hari memiliki metodologi, terencana dan rasional, sehingga dengan peristiwa tersebut seseorang akan memahami ucapan orang lain melalui pemahaman aturan itu sesuai dengan kaidah-kaidahnya.
Dalam prakteknya, etnometodogi Grafinkel menekankan pada kekuatan pengamatan atau pendengaran dan eksperimen melalui simulasi. Pengamatan atau pendengaran digunakan Grafinkel ketika melakukan penelitian pada sebuah toko. Di sana Grafinkel mengamati setiap pembeli yang keluar dan masuk di toko tersebut serta mendengar apa yang dipercakapkan orang-orang tersebut.
Sementata untuk eksperimen (simulasi), Grafinkel melakukan beberapa latihan pada beberapa orang. Latihan ini terdiri dari beberapa sifat, yaitu responsif, provokatif dan subersif. Pada latihan responsif yang ingin diungkap adalah bagaimana seseorang menanggapi apa yang pernah dialaminya. Pada latihan provokatif yang ingin diungkap adalah reaksi orang terhadap suatu situasi atau bahasa. Sementara latihan subersif menekankan pada perubahan status atau peran yang biasa dimainkan oleh seseorang dalam kehidupan sehari-harinya. Pada latihan subersif, seseorang diminta untuk bertindak secara berlainan dari apa yang seharusnya dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Latihan pertama (responsif) adalah meminta orang-orang tersebut menuliskan apa yang pernah mereka dengar dari para familinya lalu membuat tanggapannya. Latihan kedua (provokatif) dilakukan dengan meminta orang-orang bercakap-cakap dengan lawannya dan memperhatikan setiap reaksi yang diberikan oleh lawan mereka tersebut. Sementara latihan ketiga (subersif) adalah menyuruh mahasiswanya untuk tinggal di rumah mereka masing-masing dengan berprilaku sebagai seorang indekos. Lewat latihan-latihan ini orang menjadi sadar akan kejadian sehari-hari yang tidak pernah disadarinya. Latihan ini adalah strategi dari Grafinkel untuk mengungkapkan dunia akan sehat, sebuah dunia yang dihidupi oleh masing-masing orang tanpa pernah mempertanyakan mengapa hal tersebut harus terjadi sedemikian.
Pembahasan realitas common sense Schutz memberi Garfinkel suatu perspektif melaksanakan studi etnometodologi sekaligus sebagai dasar teoritis bagi riset-riset etnometodologi lainnya. Pandangan Schutz tentang dunia sehari-hari sebagai dunia intersubjektif yang dimiliki bersama melalui proses interaksi ini senada dengan interaksionisme-simbolik yang diperkenalkan Herbert Mead. Sementara pengaruh Parsons dalam etnometodologi adalah teori aksi/tindakan yang diperkenalkan oleh Parsons. Dalam teori tindakannya, Parson berpendapat bahwa motivasi yang mendorong suatu tindakan individu selalu berdasarkan pada aturan atau norma yang ada dalam masyarakat di mana seorang individu hidup. Motivasi aktor tersebut menyatu dengan model-model normatif yang ditetapkan dalam sebuah masyarakat yang ditujukan untuk mempertahankan stabilitas sosial itu sendiri. Asumsi Parson ini senada dengan pendirian etnometodologi, terutama dari Garfinkel dan Douglas yang mengatakan bahwa seseorang di dalam menetapkan sesuatu apakah tindakan/perilaku, bahasa, respon atau reaksi selalu didasarkan pada apa yang sudah diterima sebagai suatu kebenaran bersama dalam masyarakat (common sense). Etnometodologi dalam keseluruhan studi sosiologi sendiri sekalipun dianggap sebagai bentuk kritik terhadap pendekatan-pendekatan sosiologi.


B.  Diversifikasi Etnometodologi
1.    Studi Setting Institusional
Maynard dan Clyman melukiskan sejumlah karya variasi dalam etnometodologi, tetapi hanya ada dua jenis studi etnometodologi yang menonjol. tipe pertama adalah studi etnometodologi tentang setting institusional. Studi etnometodologi awal yang dilakukan oleh Garfinkel berlangsung dalam setting biasa  dan tak diinstitusionalkan seperti rumah, kemudian bergeser ke arah studi kebiasaan sehari-hari dalam setting institusional seperti dalam sidang pengadilan, klinik, dan kantor polisi.
Studi sosiologi konvensional seperti itu memusatkan perhatian pada strukturnya, aturan formalnya, dan prosedur resmi untuk menerangkan apa yang dilakukan orang didalamnya.
menurut pakar etnometodologi, paksaan eksternal tak memadai untuk menerangkan apa yang sebenarnya terjadi didalam institusi itu. Orang tidak ditentukan oleh kekuatan eksternal seperti itu, mereka menggunakan institusi untuk menyelesaikan tugas mereka dan untuk menciptakan institusi dimana mereka berada didalamnya.
Tujuan studi institusional adalah memahami cara orang, dalam setting institusional, melaksanakan tugas kantor mereka dan proses yang terjadi dalam institusi tersebut. Studi ini memusatkan perhatian pada strukturnya, aturan formal, dan prosedur resmi untuk menerangkan apa yang dilakukan orang di dalamnya. Dalam hal ini orang menggunakan prosedur yang berguna bukan hanya untuk kehidupan sehari-hari, tetapi juga untuk menghasilkan produk institusi.
Misalnya, tingkat angka kriminal disusun oleh kantor polisi bukan semata-mata karena akibat petugas mengikuti peraturan yang ditetapkan secara jelas dalam tugas mereka. Petugas lebih memanfaatkan prosedur berdasarkan akal sehat untuk memutuskan umpamanya apakah korban harus digolongkan sebagai korban pembunuhan. Jadi, angka kriminal seperti itu berdasarkan penafsiran pekerjaan dan profesional, dan pemeliharaan catatan kriminal seperti itu adalah kegiatan yang berguna untuk studi yang sebenarnya.

2.    Analisis Percakapan
Jenis etnometodologi kedua adalah analisis percakapan (conversation analysis). analisis percakapan bertujuan untuk memahami secara rinci struktur fundamental interaksi melalui percakapan. Percakapan sebagai unsur dasar dalam etnometodologi adalah aktivitas interaksi yang menunjukkan aktivitas yang stabil dan teratur yang merupakan kegiatan yang dapat dianalisis. Sasaran analisis percakapan adalah terbatas pada apa yang dikatakan dalam percakapan itu sendiri. Percakapan dipandang sebagai tatanan internal sekuensial.
Lima dasar dalam menganalisis percakapan menurut Zimmerman:
1.       Pengumpulan dan analisis data yang sangat rinci tentang percakapan.
2.       Aspek-aspek kecil percakapan tidak hanya diatur oleh ahli etnometodologis akan tetapi pada mulanya oleh aktor sendiri.
3.       Interaksi dan percakapan bersifat stabil dan teratur. Peneliti bersifat otonom, terpisah dari aktor.
4.       Kerangka percakapan fundamental adalah organisasi yang teratur.
5.       Rangkaian interaksi percakapan dikelola atas dasar tempat atau bergiliran.
Secara metodologis, analisis percakapan berupaya mempelajari percakapan yang terjadi dalam konteks yang wajar, sering menggunakan audio tape atau video tape. metode perekaman ini memungkinkan informasi lebih mengalir secara wajar dari kehidupan sehari-hari ketimbang dipaksakan oleh peneliti.
Asumsi dasar analisis percakapan:
·         Percakapan adalah landasan dari bentuk-bentuk hubungan antar personal.
·         Merupakan bentuk interaksi yang paling mudah meresap.
·         Percakapan terdiri dari matriks prosedur dan praktik komunikasi yang paling terorganisasi.
Asumsi
Etnometodologi memiliki beberapa asumsi sebagai bidang kajian dari perspektif kajian ini:
1)       Terjadi asas reciprocal (bolak-balik) dalam rangka menyetarakan pengertian antara peneliti dan aktor sosial yang terlibat, sehingga dapat dikatakan bahwa kebenaran yang saya anut adalah kebenaran yang dianut oleh orang lain.
2)       Objektivitas dan ketidakraguan dari apa yang tampak, misalnya seperti dunia atau lingkungan atau kenyataan, adalah yang tampak terjadi dan keraguan terhadap kenyataan tersebut patut untuk diragukan.
3)       Adanya proses yang sama, dalam arti bilamana hal itu terjadi disuatu tempat dan suatu waktu, maka hal itu akan dapat terjadi pada tempat dan waktu yang lain.
4)       Pengetahuan umum yang masuk akal adalah sangat jelas, sebagaimana orang lain juga mengetahui.
5)       Adanya proses indexicality (daftar istilah). Masyarakat memiliki perbendaharaan pengetahuan local yang telah diketahui sebelumnya dan dapat mengacu pada indeks lain yang juga telah ada. Peneliti harus memahami proses tersebut untuk dapat memiliki pengetahuan yang lebih luas.
6)       Adanya proses reflectivity, sebagai gambaran tentang arti. Suatu interpretasi terhadap situasi yang terdapat secara umum sehingga tidak perlu dijelaskan lagi.
7)       Untuk mendapatkan kebenaran peneliti tidak boleh sampai menyakitkan masyarakat. Untuk itu, tidak diperbolehkan adanya pemaksaan kepada lawan bicara atau nara sumber dalam rangka untuk mendapatkan pembuktian yang jelas.

C.  Etnometodologi sebagai Metode Penelitian Kualitatif
Beberapa prasyarat untuk menjadikan etnometodologi sebagai model penelitian kualitatif:
1)   Etnometodologi memusatkan kajian pada realitas yang memiliki penafsiran praktis. Ia merupakan pendekatan pada sifat kemanusiaan yang meliputi pemaknaan pada prilaku nyata. Setiap masyarakat dalam konsep ini memiliki situasi yang bersifat lokal, terorganisir, memiliki steriotipe dan ideology khusus, termasuk ras, kelas sosial dan gender. Pendekatan ini akan memihak masyarakat bawah dengan ideology yang sangat populis.
2)   Merupakan strategi yang dapat dilakukan melalui discourse analysis (analisis wacana). Paradigma yang dianut adalah semiotic, sehingga metode yang paling tepat adalah dialog. Sumber data dapat diungkap melalui observasi-partisipasi dengan pencatatan data yang teratur menggunakan field note. Pengembangan pertanyaan dilakukan dengan bentuk verbal, sosial interaktif dan dialog.
3)   Etnometodologi memiliki keunggulan dalam mendekati kehidupan empiris, dalam hal ini ada program penekanan yang diberikan. Melakukan pengambilan data langsung dari lapangan melalui model interaktif antara peneliti dan aktor.
4)   Sosial (observasi partisipasi).
5)   Menitikberatkan pada pemahaman diri dan pengalaman hidup sehari-hari. Pengambilan data dengan in-depth interview, akan menggali semua masalah kehidupan sehari-hari dalam bentuk wacana percakapan terbuka. Setiap wacana percakapam dianalisis, dikembangkan sesuai dengan konteks kehidupan sehari-hari di kalangan masyarakat lokal.
Dalam khasanah penelitian ilmu-ilmu sosial, kita menemukan berbagai ragam pendekatan. Pertama-tama hal disebabkan oleh objek penelitian ilmu sosial yaitu masyarakat adalah sebuah fakta yang sangat kompleks. Alasan lainnya adalah munculnya ketidakpuasan dari seseorang atau beberapa pakar yang merasa tidak puas dengan pendekatan tertentu. Ketidakpuasan ini lalu memicu mereka untuk menemukan model pendekatan baru yang dianggap paling baik.
Kita mengenal dua metode penelitian yang pokok dalam ilmu-ilmu sosial yaitu pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Secara epistemologis, kuantitatif adalah turunan dari positivisme. Positivisme merupakan sebuah paham dalam ilmu pengetahuan dan filsafat yang berasumsi bahwa pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang didasarkan pada fakta-fakta positif yang diperoleh melalui proses penginderaan. Metode Kuantitatif sangat menekankan pada objektivisme dan penggunaannya menggunakan alat bantu statistik. Penelitian kuntitatif yang paling termasyur dalam sosiologi berasal dari Emile Durkheim. Sementara metode kualitatif secara epistemologis adalah turunan dari rasionalisme. Metode kualitatif menekankan pada subjektivisme. Dalam sosiologi, Webberlah yang dianggap sebagai peletak dasar metode kualitatif ini.
Metode kualitaf ini memiliki beberapa varian berdasarkan landasan teoritiknya, yaitu fenomenologi, interaksionisme, etnometodologi, dan etnografi. Keempat varian ini memiliki sebuah kesamaan dasar yaitu memberikan tekanan pada pengalaman individu atau subjek dalam menjalani dunia keseharian mereka.
Maleong membatasi penelitian penelitian kualitatif sebagai penelitian seperti perilaku, persepsi, motivasi, tindakan , dan lain-lain secara holistic dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah akal sehat, dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.
Definisi Maleong ini tegas menghantar kita untuk melihat hubungan antara penelitian kualitatif dan etnometodologi. Etnometodologi sebagai studi tentang praktek sosial keseharian yang diterima secara taken for granted, sebagai pengungkapan terhadap dunia akal sehat, dunia yang digeluti individu dalam kesehariannya jelas memiliki hubungan yang erat sekalipun dengan metode penelitian kualitatif itu sendiri. Dalam kerangka penelitian kualitatif, etnometodologi diposisikan sebagai sebuah landasan teoritis dalam metode tersebut. Etnometodologi sebagai sebuah studi pada dunia subjektif, tentang kesadaran, persepsi, dan tindakan individu dalam interaksinya dengan dunia sosial yang ditempatinya dengan pokok penelitian kualitatif yang juga pada dunia subjektif dengan setting sosial yang dilibatinya.

D.  Kritik terhadap Sosiologi Tradisional
Pakar etnometodolgi mengkritik sosiologi tradisional karena selalu menekankan perhatian pada dunia sosial. Mereka yakin, sosiologi belum cukup perhatian atau belum cukup menghargai fenomena kehidupan sehari-hari yang seharusnya menjadi sumber pokok pengetahuan sosiologi. Lebih ekstrem lagi, sosiologi telah menghilangkan aspek kehidupan sosial yang sangat esensial (etnometodologi) dan memusatkan perhatian pada dunia konsepsi yang menyembunyikan praktek kehidupan sehari-hari, karena keasikan pandangan mereka sendiri tentang kehidupan sosial, para sosiolog cenderung tak memahami realitas sosial dengan yang mereka kaji. seperti yang dikatakan Menhan dan Wood, “dalam upaya berperan sebagai ilmu sosial, sosiologi justru menjadi terasing dari kehidupan sosial”.
Hasil studi R.W. Mackay tentang sosialisasi anak-anak juga lebih bermanfaat sebagai kritik atas kekacauan topik dan sumber studi sosiologi tradisional. Mackay membandingkan pendekatan “normatif” sosiologi tradisional dengan pendekatan interpretatif etnometodologi. Pendekatan normatif menyatakan bahwa sosialisasi adalah semata-mata sederetan tahap dimana orang dewasa yang “sempurna” mengajarkan cara-cara hidup bermasyarakat kepada anak-anak yang “belum sempurna”. Mackay memandang ini sebagai “tafsiran” yang mengabaikan realitas bahwa sosialisasi sebenarnya menyangkut interaksi antara anak-anak dan orang dewasa. Anak-anak tidaklah pasif, seperti wadah kosong. Anak-anak adalah partisipan yang aktif dalam proses sosialisasi karena mereka mempunyai kemampuan untuk menalar, menemukan, dan mempelajari pengetahuan. Mackay yakin orientasai etnometodologi memperbaiki interaksi antara orang dewasa dan anak-anak berdasarkan kecakapan menafsirkan fenomena yang distudi. 

E.  Ketegangan dan Tekanan dalam Etnometodologi
Selagi etnometodologi membuat langkah sehat dalam sosiologi terutama di bidang analisis percakapan, dan mampu menghimpun pengetahaun tentang dunia kehidupan sehari-hari, ada beberapa masalah yang patut diperhatikan.
1)   Etnometodologi kini jauh lebih diterima dibanding lalu, namun oleh kebanyakan sosiolog, etnometodologi masih dipandang dengan penuh kecurigaan. Para sosiolog memandang etnometodologi terlalu memusatkan perhatian pada masalah sepele dan mengabaikan masalah yang sangat penting yang dihadapi masyarakat kini. Jawaban pakar etnometodologi adalah bahwa mereka menganalisis masalah penting karena masalah kehidupan sehari-hari itulah yang terpenting untuk dikaji.
2)   Ada orang yang yakin bahwa etnometodologi telah melupakan akar fenomenologisnya dan mengurangi perhatiannya terhadap kesadaran dan proses kognitif. Pakar etnometodologi terutama pakar analisis percakapan lebih memusatkan perhatian pada “ciri struktur percakapan itu sendiri”
3)   Beberapa pakar etnometodologi telah memikirkan kaitan antara karya mereka (misalnya percakapan) dan struktur sosial lebih luas. Pakar etnometodologi cenderung memandang diri mereka menjembatani pemisahan analisis mikro-makro. Misalnya beberapa tahun yang lalu Zimmerman melihat perkawinan silang dengan sosiologi makro sebagai sebuah “pertanyaan terbuka” dan sebagai peluang yang menarik perhatian.
4)   Dari lapangan Pollner mengkritik etnometodologi karena kehilangan refleksivitas radikal aslinya. Refleksivitas radikal mengarah pada pandangan bahwa semua aktivitas sosial adalah prestasi, termasuk aktivitas pakar etnometodologi. Seperti dinyatakan Pollner, etnometodologi berada di pinggiran sosiologi.
5)   Meski dibahas di bawah judul yang sama, muncul kekhawatiran dalam hubungan antara etnomotodologi dan analisis percakapan. 

KESIMPULAN
Etnometodologi merupakan salah satu metode yang dipakai orang dalam menyelesaikan masalah kehidupan sehari-haari. Dalam praktiknya,etnometodologi menekankan pada kekuatan etnometodologi, dan pengamatan atau pendengaran dan eksperimen melalui simulasi. Grafinkel melakukan beberapa latihan pada beberapa orang. Latihan ini terdiri dari beberapa sifat, yaitu responsif, provokatif dan subersif.
Keunggulan etnometodologi adalah bahwa pendekatan studi ini secara radikal membiarkan setiap situasi berbicara tentang dirinya tanpa melakukan intervensi perspektif (ilmiah) seorang peneliti ke dalamnya. Etnometodologi membebaskan setiap situasi untuk mendefenisikan dirinya sendiri. Seorang etnometolog didalam menghadapi realitas hanya bisa melihat dan mendengar lalu melukiskan apa yang terjadi.


Nasional, 1992.
George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Cet.IV, Jakarta, Kencana, 2011

Comments

  1. hallo, kak salam kenal. kutipan kerennnnnn!! aku mau tanya kalo mau dapetin buku ini dimana ya selain gramed? slnya disana udh abis ._. makasih banyak kak :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Maaf baru kebaca komennya.
      Saya ga punya bukunya mbak, itu dari perpus uin jkt. Terima kasih

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tasawuf dan Tarekat di Nusantara