Mengambil Hikmah Dari Kisah Nabi Ibrahim Dan Ismail As (2) *)

Oleh: KH. Musyfiq Amrullah, Lc., M.Si **)

Kisah Nabi Ibrahim sebagaimana telah disampaikan pada edisi yang lalu mestinya dapat dijadikan sebagai dasar untuk beribadah kepada Allah dengan totalitas serta mampu memuliakan sesama manusia dan tidak mengorbankan manusia yang lainnya. Selain itu, pelajaran lain yang bisa kita ambil dari kisah Nabi Ibrahim sebagaimana terkandung di dalam ayat al-quran surat As-Shaffat (37), ayat 102:

102. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".


Alangkah demokratisnya seorang Nabi Ibrahim selaku bapak yang meminta pendapat anaknya (Nabi Ismail), walaupun yang ditawarkan kepada anaknya itu adalah perintah Allah.  Ada dua hal yang kita bisa pelajari dari ayat ini. Pertama, betapapun pengorbanan ini perintah Allah, tetapi sikap Nabi Ibrahim tidak arogan, karena ini menyangkut hidup anaknya, maka menjadi sebuah keharusan adanya komunikasi dan dialog sehingga tercapai kebaikan bersama, bisa jadi menurut bapaknya baik belum tentu demikian menurut anaknya, begitu pun sebaliknya. Kedua, Nabi Ibrahim selaku seorang bapak ingin menguji keimanan anaknya yang sudah ditempa sedemikian lama oleh orang tuanya dengan nilai-nilai tauhid, sejauh mana penilaian anaknya ini terhadap mimpi ayahnya yang juga seorang utusan Allah.
Ternyata sikap ayah yang bijak dan demokratis itu mendapat respon positif dan jawaban yang sangat menakjubkan, coba simak apa yang diucapkan dalamnya, :
Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan oleh Allah, Insya Allah aku termasuk orang yang sabar”.
Tentu ucapan seperti ini tidaklah mungkin keluar dari mulut seorang remaja biasa yang tidak dapat memahami hakikat iman yang dalam dan kebesaran Allah yang memerintahkan penyembelihan ini. Sedemikan pasrahnya Nabi Ismail mengorbankan jiwanya hanya karena mimpi ayahnya. Sekali lagi, kalau bukan karena keyakinan yang dalam dan iman yang kuat tidaklah ia akan mengucapkan demikian. Tentunya patut kita renungkan mengapa sedemikian beraninya anak tersebut bersedia untuk dikorbankan.
Sikap Nabi Ismail ini disamping karena mendapat pendidikan dari bapaknya yang seorang Utusan Allah, juga karena peran seorang ibu, dialah Siti Hajar ibunda Nabi Ismail yang seorang budak, sederhana, tabah, taat kepada suaminya dan memahami betul arti seorang ibu rumah tangga, memahami betul tentang masa depan anaknya, membantu peran suaminya sebagai Rasul, ketulusannya mendidik anak sehingga ditangannya lahir seorang putera seperti Ismail sebagai remaja yang kokoh imannya, patuh kepada kedua orang tuanya. Dan rela mengorbankan dirinya atas nama kepatuhan terhadap perintah Robb nya.
Di bulan Dzulhiijah ini, hendaknya kita bisa memetik semangat yang terkandung didalamnya, kita mestinya bisa mengambil pelajaran yang bersifat dinamis, tidak hanya berhenti pada ibadah-ibadah yang bersifat simbolik semata, atau hanya memperkaya horizon pengalaman beragama secara individual, tetapi juga berlanjut pada dataran empiris sosial.
Dengan kata lain, bahwa iedul qurban berimplikasi pada peningkatan kualitas penghayatan individu terhadap universalisme nilai-nilai kemanusiaan, dengan demikian kedudukan agama bukan sematamata Cultus Privatus yang hanya bisa dinikmati oleh pribadi saja, sebisa mungkin kita juga menjadikannya sebagai Cultus Publicus yang bisa dirasakan oleh umat.
Semestinya ibadah qurban tidak berhenti sekedar menyembelih hewan qurban lalu membagi-bagikannya tanpa ada arti yang lain yang lebih berharga dari hal tersebut. Akan tetapi jauh lebih tepat jika implimentasi nilai-nilai ibadah qurban diwujudkan dalam bentuk kesetiakawanan sosial seperti dalam bentuk material menyediakan fasilitas ekonomi bagi korban bencana, penyediaan lapangan pekerjaan bagi pengangguran dan korban PHK dan lain sebagainya.
Sesuatu yang lebih penting lagi adalah meningkatkan kesejahteraan sosial bagi masyarakat luas. Momentum Iedul Adha bukan sebaliknya dengan mengorbankan dan mencekik masyarakat dengan beban hidup yang jauh dari jangkauan dan kemampuan ekonomi masyarakat. Tidak Adanya keseimbangan antara daya jual dan daya beli masyarakat akan menimbulkan radikalisme yang berujung pada semakin menumbuh suburkan sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri kita, padahal di momentum iedul adha ini semestinya hal itu harus kita kikis habis.
Oleh karena itu sudah seharusnya bagi para elit ekonomi untuk bersedia mengorbankan ambisinya untuk tidak memonopoli aset-aset ekonomi dan bersedia untuk membagi rasa dan jatah dengan pengusaha menengah dan kecil, serta kepada orang-orang yang belum mempunyai akses ekonomi sama sekali karena tanpa pengorbanan tersebut mustahil terjadinya harmonisasi diantara elemen bangsa.
Selanjutnya bagi kalangan elit politik untuk tidak hanya mengumbar janji dengan dan berdebat kusir tentang aturan main yang hanya menguntungkan kelompoknya tanpa memikirkan kepentingan bangsa bersama. Disamping juga tidak menggunakan agama sebagai komoditas politik, demikian kalangan agama juga jangan lagi mau dijadikan kuda lumping yang diperalat dan disuruh mengamuk, seruduk sana dan sini yang berakibat jatuhnya martabat agama sampai titik yang kita tidak harapkan. Agama harus hadir dengan jati dirinya yang damai penuh kasih sayang sehingga masyarakat pun merasakan kedamaian pada agama.
Dari hikmah ini dapat diambil beberapa kesimpulan diantaranya adalah: pertama, cinta kepada Allah haruslah didahulukan dari yang lainnya. Kedua, Kepatuhan yang murni terhadap perintah Allah tanpa keraguan adalah bukti keimanan mendalam. Ketiga, Allah tidak membutuhkan kepada sesajian, inti pengorbanan pada ketaqwaannya yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, Keempat, Orang bijak adalah slalu mendialogkan setap perkara yang menyangkut hidup masa depan anaknya. Walaupun orang tua berhak menentukan mengatur kehidupan seorang anak.
Adapun hikmah yang kelima adalah peran orang tua dalam pendidikan khususnya seorang ibu sangat menentukan terhadap keimanan putra/putrinya, keenam, syariat qurban juga mengharamkan untuk mengorbankan manusia, karena ia adalah makhluk Allah yang sangat mulia, hak-hak manusia haruslah kita berikan, hak sandang, pangan, papan sekiranya pengorbanan manusia untuk Allah saja dilarang apalagi untuk kepentingan duniawi ayng sifatnya sesaat dan yang terakhir adalah syariat qurban juga menyiratkan kita harus membunuh sifat-sifat binatang yang ada pada kita, seperti penindasan, keserakahan dan sebagainya.

*)Disampaikan dalam Khutbah Idul Adha di Masjid Al-Barokah Pasar Lontar Kota Jakarta Utara pada 1 September 2017. Editor: Aiz Luthfi
**) Ketua Tanfidziyah PCNU Subang

Comments

Popular posts from this blog

Tasawuf dan Tarekat di Nusantara