Sekilas Tentang Perjalanan Indonesia



          BAB I
  PENDAHULUAN

Perkembangan filsafat sejarah pada zaman pertengahan pada pokoknya menunjukkan sifat-sifat yang religius. Segala kejadian diterangkan dalam cahaya kekal, segalanya di arahkan kepada tuhan sebagai pencipta, penyelamat dan hakim seluruh umat manusia. Dari pandangan itu terjadi bahwa kajian sejarah di zaman pertengahan bukan sebab-sebab dan alasan-alasan setiap kejadian sejarah, melainkan tentang tujuan atau ( arah teleologis).

Negara Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau dan macam mcam suku bangsa dan bahasa, adat istiadat, budaya, serta, paham dan kepercayaan. Hal ini menyebabkan timbulnya beraneka ragam filsafat sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan ekosistemnya, namun perlu diketahui bahwa di antara bermacam-macam suku etnis dan bahasa, budaya dan adat istiadat serta agama dan kepercayaan tersebut masing-masing terdapat kesamaan-kesamaannya dalam segi hakikatnya. Kemudian dari kesamaan-kesamaan itu dirumuskan menjadi filsafat bangsa Indonesia yaitu “Filsafat Pancasila”
Pancasila yang merupakan asas kerohanian negara, ideologi negara, moralitas bangsa dan pandangan hidup bangsa. Pancasila sebagai dasar negara, merupakan konsep filsafat yang mencerminkan pandangan hidup Indonesia, yaitu bahwa kita yakin dan percaya kepada tuhan yang maha esa dalam hal ini terbukti kita bertaqwa kepada-NYA. Bahkan manusia sebagai ciptaan-Nya memiliki harkat, martabat, dan derajat yang sama, bahwa manusia yang sama harkat,  martabat, dan derajatnya itu dalam penghayatan hidupnya secara eksistensi memiliki segiisegi yang khas yang mewujudkan suatu ikatan yang kita pahami sebagai satu bangsa.
Dari masa ke masa dengan bergantinya penghuni bumi ini dari jenis manusia selalu bergumul dan bertarung melawan 3 musuh bebuyutan umat manusia. Pengetahuan dan kesadaran terhadap musuh tersebut menjadi penting, agar tidak terlena dan tidak terjerumus ke dalam lubang sejarah yang sama dan juga agar dapat mempersiapkan diri untuk tampil menghadang dan melawan seraya memberdayakan potensi-potensi yang dimiliki. Musuh tersebut adalah pertama, kolonialisme subyeknya disebut kolonialis; kedua, imperialisme subyeknya disebut imperialis dan ketiga,  feodalisme subyeknya adalah feodalis.
Sejarah manusia adalah sejarah perang. Komunitas umat manusia yang berbasis pada, negara, suku atau pun agama tidak sedikit yang menjadi korban harta, keringat bahkan nyawa, karena diserang atau menyerang. Entah itu perang berlatar agama, perebutan aset-aset produksi, perebutan kuasa politik atau bahkan harga diri. Perang juga dapat terjadi di dalam komponen-komponen dalam suatu komunitas atau antarkomunitas.
Jika 3 musuh itu dipandang suatu penyakit, maka perlu dianalisis akar masalah untuk kemudian dicarikan obat yang mujarab guna penyembuhan penyakit tersebut. Ini perlu kajian mendalam, di sini saya hanya akan sekedar sedikit mengulas dengan tanpa klaim ulasan yang benar, tepat, dan jitu.
Akar masalahnya bisa jadi bukanlah akar tunggal, akan tetapi akar serabut yang banyak dan menyebar ke sana-sini.
Pertama, umat manusia telah kehilangan rasa persaudaraan kemanusiaan. Ini dilatari oleh semangat dominasi klaim kebenaran dan kekuasaan yang hendak dipasok dan dipegang oleh segenap umat manusia. Padahal manusia merupakan makhluk yang unik dengan beragam latar sosiohistoriskulturalnya. Ideologi penyeragaman adalah benih-benih penyakit yang bahaya. Klaim kebenaran, penyelamatan, dan kepercayaan dilahirkan oleh kerangka pikir subyek-obyek. Subyek menjadi penguasa dan obyek menjadi sasaran sang subyek untuk mengatur, mendisiplinkan dan mengarahkan agar lahir ketundukan dan  kepatuhan sang obyek  terhadap sang subyek. Dengan alas supremasi suku, agama, negara dan atau bangsa misalnya, menjadi argumentasi untuk menindih yang dianggap beda dengan sang subyek dipandang keharusan, kewajaran dan alamiah. Sehingga cinta kasih kemanusiaan tercerabut dari hati sang subyek.
Kedua, keserakahan suatu komunitas untuk memiliki. Dalam batas-batas tertentu kehendak untuk memiliki apa-apa yang menjadi kebutuhan dan keinginan adalah wajar dan manusiawi. Akan tetapi jika sudah melewati pada garis yang bernama serakah dengan cara yang melanggar nilai-nilai kemanusiaan, maka itu merupakan keluar dari titik keseimbangan yang berefek pada kerugian di pihak lain.
Dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat disebutkan; "Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah……..dan seterusnya. Tujuan bernegara Indonesia adalah pertama, memajukan kesejahteraan umum, kedua, mencerdaskan kehidupan bangsa, ketiga, melindungi segenap tumpah darah Indonesia, keempat, membantu perdamaian dunia dst.
Dilihat dari tujuan dan realitas di lapangan, kita dapat menilai perilaku aparatus negara. Karena dalam konteks kenegaraan Indonesia UUD 1945 mestinya dijadikan rujukan hukum, pandangan dan kebijakan kenegaraan.
Para aparatus negara (para penyelenggara negara), entah eksekutif, legislatif, yudikatif atau lembaga tinggi negara lainnya, hendaknya bijak menafsirkan teks tujuan  negara. Pembacaan tujuan bernegara perspektif  rakyat atau masyarakat belum tentu sama dengan pembacaan aparatus negara. Oleh karena itu penunggalan tafsir atau monopoli pembacaan  merupakan sebuah pengingkaran terhadap realitas dan eksistensi masyarakat.
Untuk itu, tentu perlu titik temu di antara unsur-unsur bangsa itu, titik temu itu adalah pertama sumpah pemuda yang berisi menjunjung tinggi  bahasa Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia, bertanah air satu tanah air Indonesia. Kesepakatan bersama yang sudah dilakukan oleh anak-anak muda negeri ini pada tahun 1928 yang meliputi tiga hal menjunjung tinggi dalam berbahasa, berbangsa, dan bertanah air satu yaitu Indonesia. Ini sekaligus merupakan eksperimentasi keindonesiaan. Karena negara yang berbasis suku berguguran ditelan jaman dalam babak akhir abad 20 di negeri ini. Ini akan terus menerus diuji oleh sejarah. Kedua, pancasila dan pembukaan UUD 45. Ketiga, slogan Bhineka Tunggal Ika yang mengusung keberagaman. Dan keempat, penyempurnaan terus menerus sepanjang sejarah terhadap konstitusi yang mengatur tentang hak, kewajiban dan peran yang dimiliki oleh negara, warga negara secara jelas dan  adil.
 Tulisan ini berupaya menyajikan penggalan-penggalan sejarah perjalanan negara Indonesia  secara ringkas dan sederhana.













BAB II
                 Pembahasan

Berikut ini pembabakan Sejarah Singkat Perjalanan Negara Indonesia secara sederhana dan ringkas.
A.    Pranegara/era kolonial gelombang I
Mengapakah orang-orang Inggris, India, Cina, Portugis, Belanda, Jepang, mendatangi nusantara? Jawabannya sederhana. Mereka berminat atas tanah air dan hasil yang bertebaran di Indonesia. Wujud dari keberminatan mereka dari bisnis sampai menjajah. Sebelum Indonesia menjadi negara, pada kawasannya bertumbuh-kembang-runtuh aneka kesultanan-kerajaan yang dikunjungi beragam kolonial.
Indonesia merupakan negara yang kaya sumber daya alam, bahkan Koes Plus melukiskannya dengan  tongkat pun jadi tanaman. Dari kekayaan alam inilah mengundang  keberminatan bangsa dan negara lain untuk berkunjung dan berdagang            di negeri ini. Revolusi industri di Inggris meniscayakan adanya bahan baku untuk produksi industri. Dicarilah bahan baku tersebut ke negara-negara yang memiliki sumber daya alam yang memadai. Dari berdagang kemudian dalam perkembangannya diterapkan monopoli perdagangan untuk lebih menguasai bahan baku dan menggali keuntungan lebih banyak. Dari sinilah proses kolonialisasi bermula sehingga melangkah lebih lanjut pada penggunaan politik devide at impera (adu domba) dan pendudukan atas masyarakat Indonesia. Dari penguasaan ekonomi bergerak ke bidang politik yang kemudian berdampak pada ekonomi, pendidikan dan kebudayaan masyarakat. Sumberdaya alam yang melimpah seperti memiliki wajah ganda; satu wajah yaitu wajah anugerah dan wajah yang lain malapetaka. Anugerah bagi masyarakat yang mampu merawat, mengolah dan menjaganya sedangkan malapetaka bagi yang sebaliknya, sehingga negara kolonial datang dan menanam benih-benih kolonialisme.
Ketika UU Agraria diberlakukan tahun 1870 untuk membuka penyewaan tanah bagi orang-orang Eropa yang punya modal, sejak itu terjadi  apa yang disebut konglomerasi berkat kesuburan tanah Deli. Bayangkan 80% ban mobil (4 dari 5 ban mobil) perusahaan Ford tergantung pada karet Deli. Mutu cerutunya juga sangat terkenal di dunia bahkan mengalahkan Kuba. Tetapi yang dilupakan orang adalah di balik konglomerasi usaha perkebunan itu ada sekian ratus ribu kuli kontrak yang didatangkan dari Jawa yang tenaganya diperas seperti hewan. Sedangkan di balik produktivitas para kuli itu ada sekian puluh ribu perempuan yang didatangkan dari Jawa untuk melayani seksual para laki-laki yang bekerja di perkebunan tersebut, tak terkecuali orang Belanda. Pemerintah kolonial dan pengusaha perkebunan Belanda memang sengaja membuat kebijaksanaan mendatangkan kaum perempuan ini demi produktivitas kuli tidak merosot. Akibatnya berkembang penyakit kelamin yang disebut “boru Jawa”.[1]
Adhi M Massardi, melukiskan  dari potret geopolitik, Ibu Pertiwi adalah wanita cantik lagi sensual. Kembang desa khatulistiwa, sehingga semua warga dunia pernah memimpikan memeluk dan menidurinya. Orang Belanda, Inggris, Portugis, Jepang, Arab, India, dan Cina pernah merasakan kenikmatan Ibu Pertiwi. Sementara koboy Amerika terus menatapnya  dengan penuh birahi. Tetapi, hanya Belanda dan Jepang yang pernah memiliki ikatan emosional hingga bisa berlama-lama menguasai dan mengeksplorasi susu kenikmatan Ibu Pertiwi. Belanda selama sekitar 3, 5 abad dan dan Jepang 3, 5 tahun. Bahkan, Ibu Pertiwi sampai kini masih tetap sensual dengan aura alamiah terpancar dari wajahnya.[2]
Tan Malaka menyebutkan kelebihan Indonesia, menurutnya:
“Di dunia ini tak ada letaknya negara yang lebih berbahagia dari letaknya    Indonesia. Buat siasat perang tak ada tempat yang lebih teguh. Barang siapa yang mendudukinya, walaupun hal lain bersamaan, dia mesti menang perang. Siapa yang tidak mendapatkan itu lambat laun ia akan kalah. Lihat saja peta bumi. Dulu pun hal ini sudah saya majukan. Besi yang paling banyak dan paling baik sifatnya menurut laporan Bataviaasche Nieuwsblad tahun 1935 (?) –kalau saya tak lupa- ialah Indonesia Utara, Filipina. Tambang besi di Malaka dan Filipina memang sudah berjalan. Sulawesi dan Kalimantan banyak sekali tanahnya mengandung besi.
Minyak di Sumatera, Kalimantan, Irian sudah begitu kesohor di seluruh dunia, tak perlu dibicarakan lebih panjang lagi. Bauxite dan aluminium keduanya buat melebur baja yang kuat keras sudah dikerjakan di Riau dan akan dikerjakan di asahan. Benda perang yang lain-lain, seperti: timah, getah dan kopra (buat bom TNT yang maha dahsyat itu minyak kelapalah yang dipakai), didapati di Indonesia lebih dari di seluruh bagian dunia lain digabung jadi  satu.
Sudah pernah seorang pengarang buku di Amerika meramalkan, bahwa kalau satu negara seperti Amerika mau menguasai samudra dan dunia, dia mesti rebut Indonesia lebih dahulu buat kekuasaan. Si Amerika tadi tidak meramalkan mungkin kelak rakyat Indonesia sendiri menguasai negaranya sendiri, tak mau menjadi umpan atau makanan negara lain, seperti lebih dari 300 tahun ke belakang”.[3]
Menurut Juwono Sudarsono, geopolitik dan geoekonomi tak dapat dipisahkan. Geopolitik menekankan pentingnya pentingnya letak suatu negara dalam menentukan kepentingan nasional. Visi negara daratan lain dengan visi negara kepulauan. Naluri negara-benua, lain dengan negara yang dikelilingi lautan luas. Geopolitik mengedepankan pentingnya perangkat-perangkat politik seperti birokrasi, tentara, dan aparat penegak hukum, seperti imigrasi, polisi, kejaksaan, dan pengadilan. Teritori atau wilayah adalah segala-galanya. Sedangkan geoekonomi mengutamakan keunggulan sumber daya manusia sebagai faktor paling menentukan nasib bangsa dalam dunia yang kian pekat dalam persaingan ekonomi: lalu lintas uang, dagang, investasi, modal ekonomi pengetahuan yang bekerja penuh 24 jam dan yang tak mengenal batas negara. Bangsa yang maju adalah  yang pandai memanfaatkan nilai tambah karena kreativitas, khususnya yang bersumber dari jasa informasi dan ekonomi pengetahuan. Yang kecil tetapi cepat bisa mengalahkan yang besar tetapi lamban. Kecepatan meraih peluang adalah segalanya.
Lebih dari 70 persen perangkat politik dunia dikuasai 20 persen negara-negara maju; lebih dari 75 persen pemilikan modal ekonomi,  keuangan, perdagangan, dan investasi dikuasai dan ditentukan oleh segi tiga kutub Amerika Utara, Jepang dan Uni Eropa; dan lebih dari 65 persen persenjataan nuklir dan konvensional dimiliki dan dikuasai negara-negara maju; lebih dari 80 persen kemajuan riset dan teknologi dikuasai perusahaan-perusahaan negara-negara maju.[4]
Permasalahan negeri ini sungguh kompleks. Dan masa depan negeri ini diwarnai oleh perilaku masyarakat, aparatus negara dan negara-negara maju dalam tata geopolitik dan geoekonomi internasional. Dari kolonialisasi Belanda disambung Jepang. Dengan sekian dinamikanya, ada upaya pemersiapan kemerdekaan dengan
Munculnya semangat kolektif keindonesiaan yang ditandai dengan adanya tumbuhnya organisasi pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatra, dsb; keagamaan seperti Serikat Dagang Islam (SDI) yang kemudian waktu menjadi Serikat Islam (SI), Muhammadiyah, NU, dsb;  juga diselenggarakannya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober  1928 di Batavia, juga perkumpulan seperti Perhimpunan Indonesia di Belanda, Partai Nasional Indonesia (PNI) tahun 1935 dsb. Kemudian kehendak untuk merdeka diwujudkan dengan dibentuknya BPUPKI pada era kolonial Jepang.
Ada perbedaan siasat perjuangan antara kubu Soekarno dan Tan Malaka. Jika yang pertama melakukan lebih cenderung kepada politik diplomasi, sedangkan yang kedua cenderung kepada politik konfrontasi dengan pihak kolonial. Masing-masing memiliki dasar dan pertimbangan sesuai dengan tafsir realitas politik dan posisi pijakan.

B.     Bernegara: Mulai setelah Proklamasi Indonesia Merdeka, 17 Agustus 1945
Perjuangan melepaskan dari penjajahan, secara politik,  berakhir dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan Hatta. Lantas apakah kepentingan negara kolonial selesai  di negara jajahannya?
Sebelum Indonesia merdeka pada 1944, ada pertemuan Bretton Woods yang menghasilkan kesepakatan dibentuknya PBB, Wordl Bank, IBRD, IMF, dan GATT. Lembaga-lembaga ini dibentuk sebagai antisipasi atas kemerdekaan negara-negara jajahan. Kebijakan inilah yang menjadi pemicu tumbuhnya perusahaan-perusahaan besar di negara-negara maju dan mulai  merambah ke negara-negara berkembang. Inilah yang disebut dengan MNC (Multi National Coorporation) dan TNC (Trans-Nasional Coorporation).[5]
erMenurut Soe Tjen Marching, kolonialisme seringkali tidak saja membuat penjajah menjadi menjadi superior, tetapi juga membuat yang dijajah mempercayai kesuperioran sang penjajah. Dengan kata lain, suatu kolonialisme tidak saja dapat mengekspolitasi beberapa gelintir manusia, tetapi juga membuat si mangsa mengimani ideologi si penjajah.
Ketika Belanda menjajah Indonesia (dulunya dikenal sebagai Dutch East Indies), berapa banyaknya rakyat jajahan yang menginginkan menjadi seperti Belanda, sehingga mereka berbondong-bondong belajar bahasa Belanda, berdansa seperti Belanda, dan begitu bangga bila bekerja pada orang Belanda. Para bangsawan Jawa tiba-tiba memperkenalkan makan dengan sendok dan garpu serta berpakaian ala Eropa.
Ketika para penjajah telah pergi dan bangsa Indonesia meraih kemerdekaannya, ideologi penindasan masih berlangsung. Warna kulit masih menjadi problem. Bangsa kulit putih seringkali dipandang sebagai bangsa maju, sedang kulit hitam adalah bangsa yang lebih primitif. Wajah indo menjadi populer. McDonald’s, Kentucky Fried Chicken, dan film-film Amerika merajalela. Ideologi penjajahan telah begitu tertanam sehingga orang-orang yang dijajah dengan sukarela menjadi penerusnya dengan mempercayai ideologi Barat lebih maju dan berbudaya.[6]
Menurut  Hasyim Wahid, keberadaan negara bangsa Indonesia tidak  bisa lepas dari konstelasi global internasional. Bahkan bisa dikatakan-menurut dia- sejarah Indonesia merupakan perpanjangan tangan dari pertarungan kepentingan sosial, politik, ekonomi dan wacana yang sedang bermain dunia internasional. Banyak peristiwa yang internasional yang berpengaruh pada proses kebangsaan di Indonesia mulai tahun 1890-an hingga tahun 1999. Wacana nation state(negara bangsa), politik etis pemerintah Hindia Belanda, nasionalisme, demokrasi, HAM, developmentalisme dsb. Peristiwa yang terjadi di Indonesia berkait erat dengan peristiwa dan kebijakan negara-negara maju. Seperti Gerakan Politik PKI, Keruntuhan Orde Lama, tampilnya Orde Baru, peristiwa Malari, berbagai pemberontakan separatis di tanah air, penyerbuan ke Timor-Timur, tumbangnya Soeharto, dan sebagainya.[7]
C.    Era Kolonial Gelombang II/Globalisasi Dunia Berwajah Tunggal
Globalisasi merupakan proyek kapitalisme global. Kapitalisme mengarahkan kecenderungan ekonomi dan kebudayaan kini dan yang akan datang mengarah pada ekonomi dan budaya global atau era kesejagatan. Artinya interaksi ekonomi dan kebudayaan menjadi lintas negara, bangsa bahkan benua. Maka lalu lintas manusia, dana, modal, produk, pengetahuan, teknologi dan kebudayaan saling hilir mudik tanpa sekat-sekat admanistrasi dan geografis lagi. Bea masuk untuk suatu produk mencapai 0%, untuk investasi pun banyak kemudahan dan keringanan. Di samping titik positif dari globalisasi, misalnya karena kaum pemilik modal saling berkompetisi akan melahirkan peningkatan kualitas produk dan servis, serta harga menjadi kompetitif. Untuk konsumen terdapat banyak pilihan dengan harga yang variatif. Kemudian juga terbuka peluang untuk mengakses informasi, ilmu pengetahuan, berkomunikasi, berbisnis, memperluas pasar produk  dan menggalang perjuangan antarkomunitas di banyak bangsa.
Ada pun titik negatifnya, di antaranya adalah kebangkrutan ekonomi dan krisis kultur lokal bagi bangsa-negara miskin dan berkembang. Karena globalisasi memiliki kecenderungan untuk melakukan homogenisasi dan hegemonisasi. Ketidaksiapan untuk berkompetisi dan bertarung, bisa-bisa menjadi buruh di negeri sendiri yang bertuankan pada  pemilik modal asing dan perusahaan-perusahaan dalam negeri bangkrut. Jika ini terjadi maka pengangguran akan  meledak dan kecenderungan kriminalitas kemungkinan akan meningkat. Belum lagi eksplotasi atas buruh dan  kekayaan alam akan meningkat pula. Siapa sebenarnya yang diuntungkan dalam era ini? Yaitu kelompok-kelompok negara maju dan pemilik modal raksasa.
Terhadap era Globalisasi ini banyak pihak yang menentang di antara dari komunitas Green Peace yang berpusat di Amerika dan kalangan aktivis ORNOP Indonesia. Beberapa waktu yang lalu di Genoa terjadi aksi besar-besaran, ribuan orang yang antiglobalisasi, menentang pertemuan negara-negara maju untuk pasar bebas. Akhir bulan Mei ini political director Green Peace, datang ke Bali  menentang pertemuan untuk pembangunan berkelanjutan.
Kapitalisme global, WTO, IMF, Pasar Bebas Dunia, pembangunan (deplovmentalisme), AFTA, merupakan kata yang berkait erat dengan globalisasi. Termasuk transaksi utang terhadap lembaga keuangan internasional atau negara-negara maju baik yang dilakukan oleh negara maupun pihak swasta, pada dasarnya bermuatan kepentingan ekonomi dan politik pemilik modal internasional.
Dalam bidang kebudayaan-bidang ini luas sekali; meliputi semua perilaku, adat istiadat, agama bahkan ke tata cara berpikir pun termasuk di dalamnya-misalnya, dominasi budaya asing akan merasuk ke seantero negeri di belahan dunia ini, yang disebarkan melalui media cetak-elektronik, dunia hiburan, pendidikan dan sebagainya. Budaya global akan memberangus budaya lokal. Lahirlah konflik budaya antara budaya pendatang dan pribumi. Ini akan melahirkan ketercerabutan kultur dari komunitasnya, keterasingan dan kegamangan psikologis karena kultur atau nilai yang selama ini melekat musnah. Sebutan primitif, ketinggalan jaman, tradisional, pedalaman, dan seterusnya menjadi sebutan biasa.
Dalam memandang ekonomi dan budaya global biasanya terdapat 3 (tiga), kelompok; pertama, yang pro, kedua yang anti dan ketiga, mendialogkan antardua budaya pendatang dan pribumi akan tetapi tidak akan lepas pada kecendrungan pemihakan apakah pendatang ataukah ke pribumi. Tentu saja dari pandangan yang berbeda akan melahirkan pensikapan atau respons yang berbeda pula. Bagi yang pro, akan meniru dan diterapkan dalam kehidupannya. Bagi yang anti, akan menolak dan cenderung melakukan perlawanan dan resistensi dengan segala kekuatan serta berupaya melakukan otokritik dan perlindungan terhadap serangan budaya dari luar agar budaya lokal tetap eksis. Dan ketiga, dengan  mendialogkan antarbudaya untuk  mempertahankan budaya yang masih patut dipertahankan dan mengadopsi budaya pendatang yang dianggap baik dan pantas untuk diterapkan dalam budayanya. Ada ukuran nilai dalam mempertahankan dan mengadopsi budaya luar untuk menjadi filter atau penyaring budaya. Akan tetapi pada dasarnya konflik kultur tidak hanya pribumi-pendatang melainkan juga antarpribumi dan antarpendatang.
Perilaku free sex, mabuk-mabukan, mengkonsumsi narkotika, budaya permisif sering dipandang sebagai bagian dari budaya maju, modern dan kebanggaan. Ragam perilaku ini dalam realitasnya menjadi industri lintas benua mengiringi globalisasi dan menjadi ladang emas bagi kalangan kapitalis pribumi dan internasional yang mengundang serta mengandung keuntungan triliunan.
Era global dalam arti lalu lintas manusia dan produk ke berbagai negara untuk kasus nusantara ini, sudah sejak dahulu ini terjadi. Kedatangan misalnya, orang-orang Portugis, Arab, Cina, India, Belanda dan Jepang untuk berbisnis rempah-rempah, karena negeri ini melimpah dengan kekayaan alamnya. Akan tetapi lama-lama beberapa dari negara tersebut menjajah diawali  kerjasama dengan beberapa pejabat kerajaan  kemudian dilanjutkan menggunakan politik devide et impera (politik adu domba).
Dalam memandang  globalisasi biasanya terdapat 3 (tiga), kelompok; pertama, yang pro, kedua yang anti dan ketiga, mendialogkan antardua budaya pendatang dan          pribumi akan tetapi tidak akan lepas pada kecendrungan pemihakan apakah pendatang             ataukah ke pribumi. Tentu saja dari pandangan yang berbeda akan melahirkan pensikapan atau respons yang berbeda pula. Bagi yang pro, akan meniru dan diterapkan dalam kehidupannya. Bagi yang anti, akan menolak dan cenderung melakukan perlawanan dan resistensi dengan segala kekuatan serta berupaya melakukan otokritik dan perlindungan terhadap serangan budaya dari luar agar budaya lokal tetap eksis. Dan ketiga, dengan  mendialogkan antarbudaya untuk  mempertahankan budaya yang masih patut dipertahankan dan mengadopsi budaya pendatang yang dianggap baik dan pantas untuk diterapkan dalam budayanya. Ada ukuran nilai dalam mempertahankan dan mengadopsi budaya luar untuk menjadi filter atau penyaring budaya. Akan tetapi pada dasarnya konflik kultur tidak hanya pribumi-pendatang melainkan juga antarpribumi dan antarpendatang.


BAB III
         Kesimpulan


Sejarah Indonesia akan terus berjalan hingga lelah, letih, lesu dan jika tidak kuat berjalan lagi, maka sejarah perjalanannya usai diganti dengan sejarah baru. Entah siapa? Tapi semoga Indonesia kuat dan jaya.



[1] Ruth Indiah Rahayu, Kartini di Akhir Abad 20 : Sebuah Relikwi atau Inspirasi, dalam Epilog Panggil Aku Kartini Saja, Pramoedya Ananta Toer, Hasta Mitra, Jakarta, 2000 h. xxii
[2] Lihat Adhie M Massardi,  Potret (Geopolitk) Ibu Pertiwi,  Kompas, Jum’at, 25 Oktober 2002
[3] Tan Malaka, Madilog, Teplok Press, Jakarta 2000 Cet. Ke-3, h. 23-24
[4]Juwono Sudarsono, Geopolitik dan Sistem Internasional, Kompas, 12 Desember 2000 rubrik opini hlm. 4-5
[5] Hasyim Wahid, dkk, Telikungan Kapitalisme Global dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia, LKiS, Yogyakarta 1999,  h. 44
[6] Soe Tjen Marching, Hamba Penjajahan, Kompas, Senin,  2 September 2002
[7] Lihat Hasyim Wahid, Dkk. Telikungan Kapitalisme Global dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia, LKIS, Yogyakarta, 1999

Comments

Popular posts from this blog

Tasawuf dan Tarekat di Nusantara