Posmodernisme Epistemologis dan Empirik

Pengertian
Teori sosial post modern mengacu pada cara berpikir yang berbeda dari teori sosial modern. Dengan demikian, post-modern meliputi periode historis baru, produk kultural baru, dan tipe baru dalam penyusunan teori tentang kehidupan sosial. Tentu saja semua ini merupakan sebuah perspektif baru dan berbeda mengenai peristiwa yang di tahun-tahun belakangan ini, yang tak lagi dapat dilukiskan dengan istilah “modern”, dan perspektif mengenai perkembangan baru yang menggantikan realitas modern.

Konsep pertama, post modern ini terutama tertuju pada keyakinan yang tersebar luas bahwa era modern telah berakhir dan kita memasuki periode historis baru, post modernitas. Lemert menyatakan bahwa kelahiran post modernisme dapat dirunut sekurang-kurangnya secara simbolis kepada:
Kematian arsitektur modern pada jam 3:32 siang, 15 Juli 1972 saat dihancurkannya proyek perumahan Pruitt Igoe di St. Louis. Proyek perumahan raksasa di St. Louis ini melambangkan keyakinan arogan arsitekstur modern bahwa dengan membangun proyek perumahan public terbesar dan termegah ini arsitek dan perencananya dapat membasmi kemiskinan dan kesengsaraan manusia. Dengan menghancurkan simbol gagasan modern ini berarti mengakui kegagalan gagasan modernitas itu sendiri.
Penghancuran proyek Pruitt-Igoe mencerminkan perbedaan antara pemikir modern dan post-modern tentang persoalan apakah mungkin ditemukan penyelesaian rasional atas masalah masyarakat. Contoh lain, perang terhadap kemiskinan yang dicanangkan Lyndon Johnson tahun 1960-an, adalah khas cara masyarakat modern meyakini bahwa dapat ditemukan dan diterapkan penyelesaian rasional atas masalah kemiskinan itu. Tak inginnya pemerintahan Reagan di tahun 1980-an membangun program raksasa untuk mengatasi masalah kemiskinan, mencerminkan keyakinan masyarakat post-modern bahwa tak ada jawaban rasional tunggal untuk menanggulangi berbagai macam masalah. Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa antara pemerintahan Kennedy dan Johnson dan Reagan, AS bergerak dari masyarakat modern ke masyarakat post-modern. penghancuran proyek Pruitt-Igoe sebenarnya terjadi dalam jangka waktu itu.
Konsep kedua, post-modernisme, berkaitan dengan dunia kultural dan dapat dinyatakan bahwa produk post-modern cenderung menggantikan produk modern. Di dunia kesenian, Jameson (1984) mempertentangkan lukisan Andy Warhol di era post-modern yang menampilkan sosok Marilyn Monroe hampir tanpa emosi dengan lukisan Munch modern, The Scream. Di bidang televisi, tayangan Father Knows Best merupakan contoh yang tepat program televisi modern, sedangkan program Twin Peak dapat dianggup dianggap sebagai contoh program post-modern. Di bidang film, The Ten Commandment jelas digolongkan sebagai film modern sedangkan Blade Runner sebagai karya post-modern.
Konsep ketiga, adalah kemunculan teori sosial post-modern dan perbedaannya dengan teori sosial modern.
Teori sosial modern mencari landasan universal, ahistoris, dan rasional, untuk analisisnya dan untuk mengkritik masyarakat. Menurut Marx landasannya adalah umat manusia sedangkan menurut Habermas, landasannya adalah nalar komunikatif.
Pemikiran post-modern menolak "landasan ini" dan cenderung menjadi relativistik, irrasional dan nihilistik. Dengan mengikuti Nietzsche dan Foucault di antaranya, pemikir post modern mempertanyakan landasan demikian, yakin bahwa landasan itu cenderung memberikan hak istimewa terhadap kelompok tertentu dan menurunkan derajat sebagian besar yang lainnya, memberikan kekuasaan pada kelompok tertentu dan membuat kelompok lain tanpa kekuasaan.
Pemikir post-modern pun menolak gagasan tentang narasi besar atau metanarrative. Dalam penolakan atas gagasan inilah kita berhadapan dengan salah seorang pemikir post-modern paling penting, yakni Lyotard. Lyotardlah (1984:xxiii) yang memperkenalkan ilmu pengetahuan modern dengan sejenis sintesis umum tunggal (atau metadiscourse) yang dapat kita hubungkan dengan karya teoritisi seperti Marx dan Parsons. Jenis narasi besar yang ia hubungkan dengan ilmu pengetahuan modern termasuk “dialektika spirit, the hermeneutics of meaning, emansipasi rasional, atau penciptaan kekayaan” (Lyotard, 1984:xxiii)
Bila ilmu modern disamakan Lyotard dengan metanarrative maka ilmu post modern menolak narasi umum seperti itu. Seperti dinyatakan Lyotard, “Jika disederhanakan, saya mendefinisikan post-modern sebagai ketidakpercayaan terhadap metanarratives.” (1984:xxiv). Lebih keras lagi ia mengatakan, “marilah kita memerangi totalitas...marilah kita menghidupkan perbedaan” (1984: 82). Kenyataannya, post-modernisme menjadi wadah pertemuan berbagai perspektif teoritis yang berbeda-beda: "Ilmu pengetahuan post-modern bukanlah semata-mata menjadi alat penguasa; ilmu pengetahuan post-modern memperhalus kepekaan kita terhadap pandangan yang berbeda dan memperkuat kemampuan kita untuk bertoleransi atas pendirian yang tak mau dibandingkan” .
Dalam pengertian ini sosiologi sudah bergerak keluar periode modern, masuk ke dalam periode post-modern dalam upayanya mencari formula sintesis yang lebih khusus. Menurut pandangan Fraser dan Nicholson, Lyotard lebih menyukai narasi tentang modernitas yang lebih sempit, berukuran setempat ketimbang metanarasi atau narasi besar dari modemitas (1988: 89). Sintesis baru ini mungkin dapat dilihat sebagai contoh narasi sosiologi yang “kecil” dan "setempat" yang dimaksud Lyotard itu.
Sementara Lyotard menolak narasi besar secara umum Baudrillard menolak gagasan narasi besar dalam sosiologi. Di satu sisi Baudrillard menolak seluruh gagasan tentang kehidupan sosial. Dengan menolak gagasan tentang kehidupan sosial, menyebabkan ia menolak metanarrative sosiologi yang dihubungkan dengan modernitas:
...prinsip pengorganisasian besar, narasi besar tentang kehidupan sosial yang menemukan dukungan dan pembenarannya dalam gagasan tentang kontrak rasional, masyarakat sipil, kemajuan, kekuasaan, produksi yang kesemuanya ini menunjuk pada sesuatu yang pernah ada tetapi kini sudah tak ada. Era perspektif tentang kehidupan sosial (yang berkaitan erat dengan periode yang terkenal sebagai modernitas)...sudah berlalu (Bogard, 1990:10).
Jadi, post-modern menolak metanarrative umumnya dan menolak narasi besar dalam sosiologi khususnya.
Teori sosial post-modern untuk sebagian besar bukan produk sosiolog (Lyotard, Derrida, ]ameson bukan sosiolog). Di tahun belakangan ini sejumlah sosiolog mulai berkarya menurut perspektif post-modern, dan post-modernisme hingga taraf tertentu dapat dipandang sebagai bagian dari tradisi sosiologi klasik. Ambil contohnya penafsiran ulang karya Simmel berjudul Post-modernized Simmel. Weinstein dan Weinstein mengakui adanya alasan kuat untuk menyatakan bahwa Simmel sebagai seorang modernis liberal, mengemukakan narasi besar tentang kecenderungan sejarah menuju dominasi kultur objektif menuju "tragedi kultur". Tetapi, mereka pun menyatakan adanya alasan kuat untuk mengakui pemikiran Simmel sebagai post-modern.
Dengan demikian, mereka mengakui bahwa kedua alternatif mempunyai validitas dan pemikiran modern tak berarti lebih benar daripada post-modern atau sebaliknya. Mereka selanjutnya menyatakan, “menurut kami ‘modernisme’ dan ‘postmodernisme’ bukanlah pilihan eksklusif, tetapi dua bidang yang batasnya tak bersambungan satu sama lain” (1993:21). Mereka pun menyadari bahwa mereka dapat menafsir ulang pemikiran Simmel sesuai dengan pemikiran modern tetapi menafsirkannya menurut post-modernis jauh lebih bermanfaat. Karenanya mereka mengekspresikan pandangan yang sangat post-modern: "Tidak ada Simmel esensial, hanya Simmel-Simmel yang berbeda-beda yang dibaca melalui beragam pandangan di dalam formasi diskursus kontemporer".
Alasan Weinstein dan Weinstein menyatakan Simmel sebagai pemikir postmodern karena Simmel menentang totalisasi dan ia cenderung berpandang detotalisasi modernitas. Ia sebenarnya seorang penulis esai, pencerita sejarah, meski ia menyusun teori “tragedi kultur”. Ia lebih banyak menjelaskan berbagai masalah khusus ketimbang menerangkan totalitas kehidupan sosial.
Simmel juga dideskripsikan sebagai seorang “pemalas”. Lebih khusus lagi, dilukiskan sebagai sosiolog pemalas yang membuang-buang waktunya untuk menganalisis sejumlah besar fenomena sosial. Ia tertarik pada berbagai fenomena sosial itu karena kualitas estetikanya; seluruh fenomena sosial yang ada itu dianalisisnya untuk "merangsang, mengherankan, menyenangkan, atau untuk kesenangan dirinya" (Weinstein dan Weinstein, 1993:60). Simmel dideskripsikan membuang-buang kehidupan intelektualnya dengan mengembara dari menjelaskan satu fenomena sosial ke fenomena sosial lain karena dorongan keinginannya sendiri. Pendekatan ini menyebabkan Simmel terhindar dari pandangan totalitas terhadap kehidupan dan memusatkan perhatian terhadap sejumlah unsur kehidupan itu.
Simmel pun dilukiskan sebagai “tukang intelektual” (bricoleur), yang mengerjakan sesuatu berdasarkan bahan yang tersedia padanya. Dihadapannya tersedia berbagai fragmen kehidupan sosial atau "serpihan kultur objektif". Selaku tukang ahli, Simmel merangkum gagasan apapun yang ia temukan untuk menjelaskan dunia sosial.
Kiranya tak perlu membahas terlalu rinci interpretasi Weinstein dan Weinstein tentang pemikiran post-modern Simmel ini. Yang jelas, interpretasi seperti itu sama masuk akalnya dengan pandangan modern. Akan jauh lebih sukar menemukan pandangan post-modern yang serupa dari teoritisi klasik utama lainnya, walaupun orang tentu akan dapat menemukan aspek-aspek pemikiran mereka yang bersesuaian dengan post-modernisme. Begitulah, seperti dijelaskan Seidman (1991), sebagian besar teori sosiologi adalah buatan teoritisi modern, tetapi ada isyarat post-modern dalam kebanyakan pemikiran teoritisi modern itu (lihat juga diskusi tentang Weber dan post-modernisme dalam Gane, 2002).
Tempat lain untuk mencari berita tentang post-modernisme adalah di antara kritik atas teori modern dalam teori sosiologi. Seperti telah ditunjukkan oleh beberapa pengamat posisi kunci diduduki oleh C. Wright Mills.
Pertama Mills sebenarnya menggunakan istilah “post-modem” untuk melukiskan era pasca pencerahan yang kita masuki: "Kita berada di penghujung dari apa yang disebut abad modern...abad modern digantikan oleh periode post-modern”
Kedua, ia adalah pengkritik keras teori besar (grand theory) modern dalam sosiologi, terutama seperti yang dipraktikkan oleh Parsons.
Ketiga, Mills menginginkan sosiologi menghubungkan masalah publik yang besar dengan persoalan pribadi yang khusus.
Meski ada isyarat post-modernisme dalam karya Simmel dan Mills (dan teoritisi lainnya), namun dalam karya mereka itu tak kita temukan teori post modern itu sendiri. Sebagai contoh Best dan Kellner berpendapat bahwa Mills adalah "teoritisi modern yang membuat generalisasi sosiologi yang luas, meneliti sosiologi dan sejarah, dan percaya atas kekuatan imajinasi sosiologi untuk penjelaskan realitas sosial dan untuk mengubah masyarakat” (1991:8). Berdasarkan latar belakang yang umum ini, kita akan membahas teori sosial post modern secara lebih kongkret.

TOKOH TEORI-TEORI POSTMODERNISME
Menurut Turner (1998), teori sosiologi tentang psotmodernisme dapat dipilah menjadi dua, yakni yang lebih melihat dari akibat perubahan berbagai aspek ekonomi dan satu lagi dari sisi kultural. Berbeda dengan ini, Ritzer melabeli dengan yang moderat dan radikal. Frederic Jameson yang melihat dari perubahan setruktur ekonomi digolongkan sebagai moderat, sedangkan yang radikal adalah Jean Baudrillard yang dalam Turner digolongkan sebagai teoritis kultural.
Fredric Jameson
Fredric Jameson melihat masih ada kontinyuitas antara modernitas dengan postmodernitas. Ada persambungan antara keduanya. Dunia kapitalisme saat ini memasuki masa akhirnya, meskipun memang telah menumbuhkan logika kultural baru, yakni postmodernisme. Meskipun kulturalnya berubah namun struktur ekonomi yang terjadi masih dengan basis pola yang lama. Ia melihat sekaligus sisi positif dan negatif dari postmodernitas.
Ia menemukan ada tiga tahapan dalam kapitalisme yang dimulai dengan kapitalisme pasar, diikuti dengan lahirnya jaringan kapitalis global, dan akhirnya kapitalisme akhir dengan semakin bebasnya pergerakan modal di seluruh dunia. Perubahan dalam struktur ekonomi ini memperngaruhi pula pada bentuk-bentuk kultural. Satu ciri kultural baru adalah elemen yang lebih heterogen. Tidak terjadi dominansi satu kultur tertentu, namun ada banyak kekuatan yang saling hadir secara bersamaan.
Jameson menunjukkan suatu upaya besar untuk merevitalisasi Marxisme dengan cara membangun sintesis antara wacana posmodernisme dan Marxisme. Ia melihat posmodernisme sebagai totalitas sosial, budaya, ekonomi, politik dan sejarah yang menandai gejala-gejala sosial mutakhir sejak 1950-an seiring dengan munculnya struktur masyarakat baru dengan nama beragam.
Sebaliknya, Jean Baudrillard berpandangan lebih ekstrem. Ia mengusulkan pertukaran simbolis sebagai pengganti pertukaran ekonomi. Dalam pertukaran simbolis, kedua pihak berperan sama kuat. Setiap orang melakukan dua proses timbal balik sekaligus. Gagasan pertukaran simbolis ini berbeda sekali dengan pertukaran dalam kapitalisme. Masyarakat tidak lagi hanya didominiasi oleh produksi, namun oleh berbagai kekuatan lain yakni media, informasi, hiburan, ilmu pengetahuan, dan lain-lain. Baudrillard meyakini telah terjadi peralihan dari masyarakat yang didominasi oleh ”mode produksi” ke ”kode produksi”.
Timbul pertanyaan penting, apakah teori postmodern merupakan teori sosial? Pertanyaan ini timbul karena kalangan postmodernisme menolak ”penjelasan besar”, padahal syarat pokok sebuah teori adalah kemampuannya memberi narasi besar untuk fenomena sosial. Namun, sesuai dengan syarat-syarat sebuah teori, apa yang ditawarkan Baudrillard menurut Ritzer dapatlah disebut sebagai teori sosiologi.
Satu teoritisi lain adalah Zygmunt Bauman, yang mempelajari dampak deinstitusionalisme makna tentang diri yang khaos, random, dan terdiferensiasi. Ia menyusun sosiologi postmodernisme dari poststruktural Perancis dan teori kritis Jerman. Ia mengkritik pandangan orang tentang ”pencerahan”. Baginya pencerahan telah memunculkan alasan legislatif, yakni peningkatan individualitas, pluralisme dan menolak keraguan dan ketidaktentuan (uncertainty).
Dalam masyarakat postmodernisme, katanya, tidak lagi dibutuhkan legitimasi intelektual dan juga negara. Masyarakat menjadi semakin tergantung kepada pasar. Basis gaya kehidupan telah beralih ke konsumsi.
Negara juga tak lagi terlalu membutuhkan intelektual. Namun, postmodernisme masih melanjutkan beberapa sisi modernisme yakni nilai-nilai pilihan, diversitas, kritis dan refleksif. Dalam postmodernisme, dianut paham pluralisme pengetahuan. Dalam masyarakat postmodern, sosiologi tidak lagi dibutuhkan untuk legislasi sosial order dan norma kultural. Sosiologi baru harus mampu memfasilitasi pemahaman bersama dan harus pula lebih interpretatif.
Jean Baudrillard
Jean Baudrillard adalah sosiolog teori Postmodern paling radikal dan menimbulkan banyak amarah dalam genre ini .  Jean Baudrillard melihat masyarakat kontemporer atau masyarakat saat ini tidak lagi didominasi oleh produksi, namun oleh media, model sibenertika dan sistem pengendali informasi hiburan dan industri pengetahuan telah dan lain sebagainya. Dapat dikatakan masyarakat telah bergeser dari masyarakat yang didominasi oleh mode produksi menuju masyarakat yang dikontrol oleh Kode Produksi. Tujuannya telah beralih dari eksploitasi dan laba ke arah dominasi oleh tanda dan sistem yang menghasilkannya.
Cara lain yang ditempuh Baudrillard, menggambarkan dunia postmodern bahwa dunia ini ditandai oleh simulasi, ketika pemisahan antara tanda dengan realitas mengalami implosi, sulit memperkirakan hal – hal yang riil dari hal – hal yang menyimulasikan hal – hal riil.
Baudrillard menggambarkan dunia ini sebagai Hipperealitas. Sebagai contoh, media mulai tidak lagi menjadi cermin realitas melainkan menjadi realitas atau bahkan lebih riil dari realitas .
Bagi Baudrillard , tidak ada tempat yang lebih hipperealistu selain padang pasir, dan padang pasir ini adalah amerika, ini, tentunya hanya sebuah metafora yang digunakan Baudrillard untuk menerangkan aspek – aspek halusinasi , khayalidan fatamorgana yang telah menguasai kebudayaan Amerika. Di tengah pasir, seseorang dapat menyaksikan citra – citra fatamorgana — citra – citra yang segera menghilang tatkala seseorang mendatanginya secara lebih dekat. Hal yang sama dapat dijumpai tatkala seseorang berada di depan televisi, film 3D, video, video game dan kini virtual reality lewat computer. Totalitas hidup seseorang ( kegembiraan, kesedihan, kesukaan, keberanian dan sebagainya) secara tak sadar terperangkap di dalam dunia heperealisme media, namun apabila seseorang tersebut mencoba melihat media dengan ksadaran, maka ia akan menyadari bahwa apa yang ia saksikan tak lebih dari sebuah fantasi, fiksi, atau fatamorgana sebuah kesemuan .
Kalimat di atas dapat diuraikan bahwa Media, menjadikan manusia tenggelam dalam hipperealitas. Manusia mengalami sesuatu yang melebihi realitas dan semakin lama kehilangan realitas atau kehidupan sebenarnya yang riil. Contohnya ketika seseorang menonton sinetron atau drama di televisi. Ia tidak berinteraksi dengan siapapun, tetapi ia dapat menghayati isi cerita dalam sinetron tersebut misalnya ia menangis ketika cerita itu menyedihkan atau tertawa ketika ceritanya lucu seperti halnya ia menangis dan tertawa di dunia nyata atau realitas.
Baudrillard juga mengungkapkan bahwa realitas dan hipperealitas sulit dibedakan dan bahkan hipperealitas dapat melebihi realitas sebenarnya. Contohnya adalah ketika seorang anak bermain permainan ( game ) jenis First Person Shooter yaitu model permainan perang dengan tampilan tangan dan senjata perang, istilahnya game tembak menembak. Di kehidupan sebenarnya anak tersebut tidak pernah mengikuti perang dan membunuh orang bahkan anak tersebut tidak mampu mengoperasikan senjata, tetapi dalam game itu, hanya dengan memencet beberapa tombol ia bisa menembak, mengisi peluru, menggunakan strategi berperang dan lain – lain sampai pada membunuh musuh yang dianggap sebagai suatu kesenangan. Tanpa disadari anak tersebut tenggelam dalam kehidupan yang tidak nyata karena ketagihan dalam fantasi dan imajinasi yang disajikan game tersebut dan lambat laun mulai kehilangan kehidupan nyata atau riil dimana ia biasa bermain dengan teman – temannya.
KRITIK
Perdebatan tentang modernisme dan postmodernisme seperti tiada hentinya. Para pendukungnya sering mengeluarkan puji-pujian, sedangkan lawannya  biasanya terjebak dalam apa yang bisa dideskripsikan sebagai kemarahan.
Ada yang menganggap postmodernism sebagai “kegilaan”  atau merupakan “langit hitam omong kosong yang besar”. Bahkan ada yang mengatakan dengan  adanya diversitas atas teori-teori sosial postmodern, kegunaan dan validtas teori tersebut dipertanyakan.
            Teori postmodern dikritik karena kegagalannya berbuat sesuai dengan standard ilmiah modern, standard yang dihindari oleh post-modern. Dalam bahasa yang lebih formal, segala sesuatu yang dikatakan postmodernis oleh para penganut modernisme dianggap salah, idenya tidak dapat dibuktikan, khususnya dengan riset ilmiah. Kritik ini sendiri menggunakan asumsi model saintifik, eksistensi realitas, eksistensi pencarian, dan eksistensi kebenaran. Yang semua asumsi ini sejak awal memang sudah ditolak postmodernis.
            Karena post-modernis tidak dapat dilihat sebagai suatu tubuh ide-ide saintifik maka sebagian ilmuwan melihat  teori sosial postmodern sebagai ideologi. Jadi persoalannya bukan benar atau tidak, tetapi percaya atau tidak. Namun harus diingat orang yang percaya kepada seperangkat ide tidak punya dasar berargumen bahwa ide-ide mereka lebih baik, atau lebih buruk ketimbang ide lainnya. 
Tapi karena tidak dibatasi norma-norma sains, postmodern menjadi bebas bermain-main dengan berbagai macam ide. Generalisasi luas yang dtawarkan sering tanpa kualifikasi menjadikan diskursus postmodern sulit diterima orangorang di luar perspektif itu. Ide-ide postmodern sering kabur dan abstrak, sehingga sering sulit jika harus dihubungkan dengan dunia sosial.  Teoritisi post modern sering kali melakukan kritik terhadap masyarakat modern, namun kritik-kritik itu dapat dipertanyakan validitasnya. Yang lebih parah,  teoritisi post modern sering mengkritik masyarakat tetapi kekurangan visi tentang bagaimana masyarakat itu seharusnya. Bahkan karena kebenaran menurut postmodern itu tidak tunggal, dan nilai-nilai yang diperjuangkan juga multikultur, maka postmodern justru sering dipandang tidak memperjuangkan apapun, melainkan sebagai gerakan nihilisme.

REFERENSI:
Ritzer, George & Goodman, Douglas J, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), cet. 7

Comments

Popular posts from this blog

Tasawuf dan Tarekat di Nusantara