JIHAD

A.    PENDAHULUAN
Wacana jihad mulai bersemi pasca tragedi ditabraknya gedung WTC di Amerika Serikat oleh pesawat yang mengatasnamakan dirinya sebagai salah satau kelompok Islam radikal pimpinan Osama Bin Ladin, tragedi tersebut terjadi pada tahun 11 September 2001, dan sejak saat itu Pemerintah Amerika di bawah komando Presiden George W. Bush mulai mengkampanyekan kepada seluruh dunia tentang perang terhadap terorisme, dan akibatnya terorisme tersebut seolah mengarahkan kepada kelompok-kelompok Islam garis keras.

Terlepas dari spekulasi bahwa sebenarnya tragedi tersebut merupakan sebuah rekayasa yang dilakukan oleh Amerika Serikat, yang terlihat saat ini adalah seolah terorisme telah menyudutkan umat Islam, yang berimbas pada Islam diidentikkan dengan tindakan kekerasan, karena hal ini mengacu pada sebuah ajaran yang sudah menjadi bagian dari ajaran Islam, yakni Jihad.
Dalam sejarahnya yang sangat panjang, Jihad memang sering dijadikan jargon untuk melakukan tindakan-tindakan kekerasan, hal ini terlihat ketika banyaknya peperangan yang dilakukan oleh umat Islam dalam melawan kaum Musyrik apalagi kaum kafir, pada zaman Nabi sendiri peperangan dengan kaum musyrik dan kafir sering terjadi, begitu pun pada zaman sahabat, tindakan-tindakan kekerasan sering terjadi bahkan pada menjelang berakhirnya kepemimpinan sayyidina Ali Karrama allahu wajhah dalam internal umat Islam sendiri terjadi peperangan yang konon perang tersebut merupakan sebuah fitnah al-kubra bagi ummat Islam.
Dengan demikian secara historis memang dalam sejarah dan perkembangannya yang sangat panjang Islam memiliki track record dalam melakukan tindakan-tindakan kekerasan yang terbungkus dalam ajaran Jihad, dan alasan inilah yang kemudian dijadikan Barat dalam hal ini Amerika Serikat sebagai alat legitimasi untuk menuding bahwa terorisme itu identik dengan Islam, karena Islam memiliki ajaran yang disebut dengan Jihad.
  • Pengertian
Secara definitif kata jihad berasal dari akar kata bahasa Arab yakni  ja-ha-da, dengan makna dasar berjuang atau berusaha.[1] Menurut Ibnu Faris (w. 395 H) dalam bukunya Mu’jam al-Maqayis fi al-Lughah mengatakan bahwa “Semua kata yang terdiri dari huruf ja-ha-da, pada awalnya mengandung arti kesulitan atau kesukaran dan yang mirip dengannya.” Kata jihad terambil dari kata jahada yang berarti “letih atau sukar”. Jihad memang sulit dan menyebabkan keletihan. Ada juga yang berpendapat bahwa jihad berasal dari akar kata “juhud” yang berarti “kemampuan”. Hal ini karena jihad adalah menurut kemampuan, dan harus dilakukan sebesar kemampuan.[2] Dengan kata lain jihad menurut pengertian bahasa adalah berarti bekerja keras, bersungguh-sungguh, mengerahkan seluruh kemampuan untuk menyelesaikan suatu masalah atau mencapai tujuan yang mulia.
Adapun para fuqaha nampaknya lebih suka menggunakan kata jihad untuk merujuk arti perang itu daripada kata-kata lainnya (qital harb, gazwah, dan sariyah ). Dalam kitab-kitab fiqhi kita menjumpai ada bab al jihad, termasuk kitab-kitab fiqhi yang banyak dibaca dan dipelajari di pesantren-pesantren di Indonesia.
Di kalangan tokoh-tokoh Islam modern juga terjadi perbedaan pendapat. Ketika orang-orang Muslim India hendak melakukan perlawanan perang terhadap Inggris untuk menghidupkan kembali kerajaan Mughal, Sayyid Ahmad Khan (1817-1898) melarangnya dan berpendapat boleh bekerjasama dengan penjajah Inggris. Sedangkan bagi Muhammad Abduh (1849-1905) dan Muhammad Rashid Ridha, meskipun hidup koeksistensi damai itu adalah aturannya yang normal, tetapi kalau orang kafir menyerang dan menduduki negeri Muslim maka kaum Muslimin diizinkan berjihad (berperang) untuk mempertahankan diri.[3]
Al-Raghib al-Isfahani, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan jihad adalah mengerahkan segala kemampuan untuk menangkis serangan dan menghadapi musuh yang tidak tampak yaitu hawa nafsu setan dan musuh yang tampak yaitu orang kafir yang memusuhi Islam. Jihad dalam pengertian ini tidak hanya mencakup pengertian perang melawan musuh yang memerangi Islam tetapi lebih luas lagi, jihad berarti berusaha sekuat tenaga dan kemampuan untuk mengalahkan nafsu setan dalam diri manusia.
Selain pengertian di atas, para fuqaha mengartikan jihad sebagai upaya mengerahkan segenap kekuatan dalam perang fi sabilillah baik secara secara langsung, maupun dalam bentuk pemberian bantuan keuangan, pendapat atau penyediaan logistik dan lain-lain untuk memenangkan peperangan.
Senada dengan Ibn Abidin, An-Nabhani mendefinisikan jihad sebagai perang terhadap orang-orang kafir untuk meninggikan kalimat Allah. Di dalam Al-Qur'an kata jihad dalam berbagai kata bentukannya disebutkan sebanyak 41 kali. Dari beberapa ayat tersebut, jihad dapat berarti perjuangan yang berat, mengerahkan segenap kemampuan untuk meraih suatu tujuan dan berperang. Jihad yang berarti berperang lebih banyak disebutkan dengan kata "qital", hanya sebagian kecil yang disebutkan dengan kata "jihad".
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa jihad adalah usaha yang sungguh-sungguh dengan segenap kemampuan untuk mencapai tujuan luhur di jalan Allah. Jihad dapat dilakukan dengan bekerja keras melawan hawa nafsu yang menghancurkan dan menjerumuskan manusia kepada kebinasaan. Jihad dalam bentuk perang oleh Allah demi menjaga kehormatan, harkat dan martabat manusia dan kaum muslimin.[4]
Dalam hukum Islam, jihad mempunyai makna yang sangat luas, yaitu segala bentuk usaha maksimal untuk penerapan ajaran Islam dan pemberantasan kejahatan serta kezaliman, baik terhadap diri pribadi maupun dalam masyarakat. Jihad dalam pengertian umum ini mencakup seluruh jenis ibadah yang bersifat lahir-batin.[5]
Para ulama menyimpulkan latar-belakang perlunya jihad berdasarkan beberapa surat dalam al-Qur’an, yaitu surat al-Baqarah ayat 190-193, surat an-Nisa ayat 75, dan surat at-Taubah ayat 13-15. Latar- belakang tersebut antara lain:

§  Mempertahankan diri, kehormatan, harta, dan negara dari tindakan sewenang-wenang musuh,
§  Memberantas kezaliman yang ditujukan kepada umat pemeluk agama islam,
§  Menghilangkan fitnah yang ditimpakan kepada umat islam,
§  Membantu orang-orang yang lemah,
§  Mewujudkan keadilan dan kebenaran.

Tujuan jihad yang dapat disimpulkan dari ayat-ayat al-Qur’an adalah terlaksananya syariat Islam dalam arti yang sebenarnya, serta terciptanya suasana damai dan tentram. Tanpa motivasi tersebut, Islam tidak membenarkan pemeluknya untuk menyerang musuh-musuh Islam. Di sini mengandung arti bahwa setelah tercapai syariat Islam yang membawa kebajikan bagi Islam, serta adanya perlindungan terhadap Islam atau ketika Islam tidak lagi dalam ancaman marabahaya, maka jihad harus segera dihentikan, [6] karena jika dalam kondisi seperti ini jihad tetap dilakukan maka hal ini akan berbenturan atau bertentangan dengan jargon Islam rahmatan li al-`alamin.
Atau dengan kata lain jihad yang dimaksud adalah jihad yang bersifat defensif atau mempertahankan diri, jika umat Islam berada dalam keadaan diserang oleh kelompok lain, dalam hal ini diserang secara fisik maka dalam keadaan demikian, jihad berlaku dan wajib dilakukan. Sebaliknya, jika keadaan umat Islam berada dalam keadaan normal, dalam hal ini tidak terjadi peperangan atau pun penindasan maka disana jihad tidak berlaku, yang berlaku dalam keadaan demikian adalah jihad yang bukan dalam pengertian gerakan fisik yang akan mencederai atau melukai orang lain, hal ini agar tidak tejadi ambigu atau paradoks terhadap ajaran Islam, karena jika dalam keadaan normail gerakan fisik tetap dilakukan maka hal itu akan dihadapkan dengan jargon Islam yang lain, yakni  Islam rahmatan li al-`alamin.














B.     PEMBAHASAN
Membaca agama secara sederhana dapat diartikan dengan proses pembacaan terhadap “teks” yang bernama agama. Dengan kata lain upaya membaca, mengetahui, menelaah, memahami, menafsirkan dan memaknai agama. Melakukan pembacaan terhadap agama ini diperlukan beberapa alat, di antaranya adalah disiplin keilmuan filsafat, sosiologi, sejarah, antropologi dan  hermeneutika.
Memaknai itu berefek pada  pensikapan subyek atas realitas yang dimaknainya atau yang berhubungan dengannya. Mewaspadai klaim kebenaran dan penyelamatan merupakan jalan utama menuju kerendahan dan ketulusan hati. Dari klaim inilah konflik kemanusiaan yang dibungkus dengan suku, agama, ras dan golongan sering terjadi, padahal motif dasarnya adalah perebutan atau penguasaan atas aset serta  kuasa ekonomi dan politik.
Beragama berarti dapat dimaknai pertama, proses terus menerus yang bersifat fleksibel, dinamis, kreatif, kritis dan terbuka seiring persentuhan dengan konteks ruang, waktu dan sosial. Tentu tidaklah sama dalam ekspresi keberagamaan antara muslim pedesaan dan perkotaan; Indonesia dan Arab; yang tinggal di wilayah maritim dan agraris, Muslim Sunda dan Jawa dan seterusnya. Entah dalam ekspresi yang lahir dari kedirian, aktualisasi diri misalnya, atau yang bersifat respons atas realitas yang dianggap masalah atau tantangan kehidupan.
Kemajemukan ekspresi beragama dalam kenyataan menjadi keniscayaan. Membuat penyeragaman ekspresi beragama tidak hanya bertentangan dengan kodrat sosial dan alam melainkan juga akan mengundang perlawanan bagi kalangan yang menjadi sasaran penyeragaman. Entah dalam jangka waktu pendek atau panjang, perlawanan terbuka atau sembunyi-sembunyi.
    Kedua, beragama berarti menghormati kemajemukan agama, suku, adat, bahasa, agama, bangsa dan negara. Sebagian dari wujud penghormatan itu di antaranya adalah melakukan interaksi dan komunikasi yang saling menguntungkan, atau minimalnya adalah tidak saling merugikan, dengan aneka ragam kalangan yang berbeda. Persahabatan kemanusiaan menjadi asas pergaulan; tolong menolong, saling menyayangi, bekerja sama, bahu membahu menyelesaikan atau mengantisipasi  munculnya masalah-masalah kemanusiaan.
Dalam menjalani hidup, Islam telah mengatur segalanya, hal ini sesuai dengan jargon yang sering dikutip oleh banyak kalangan Islam dengan istilah bahwa Islam adalah kaffah (Islam mencakup segala lini kehidupan). Dan ketika menghadapi dunia luar (the other atau diluar kelompok Islam), bagi sebagian kalangan jika kelompok the other tersebut melakukan hal-hal yang mengganggu kelompok Islam, maka mesti dilawan, dan perlawanan ini sering disebut dengan Jihad, dengan demikian, konsekuensi beragama salah satunya adalah mesti rela melakukan jihad.
Bentuk “pengangguan” ini pun dimaknai berbeda, sebagian mengangap bersifat fisik dengan melakukan tindakan-tindakan yang cukup radikal seperti pengrusakan terhadap hal-hal yang berbau barat, sebagian lagi menganggap sistem maka jihad dalam hal ini tidak perlu melakukan tindakan-tindakan radikal tapi dengan melakukan upaya-upaya diplomatis agar ada sebuah korelasi dengan konsep atau jargon Islam yang bernama Islam rahmatan li al-`lamin.
Bagi sebagian kalangan, the other yang dimaksud pada saat ini adalah Amerika Serikat beserta antek-anteknya, karena dunia saat ini hampir dikuasai segalanya oleh Amerika  dan pemerintahan Amerika hampir dikuasai oleh mayoritas non Muslim, konsekuensinya adalah umat Islam termarjinalkan, bahkan tertindas.
Ketika umat Islam dalam kondisi seperti ini konsep jihad mesti dilakukan, karena itu adalah sebuah konsekuensi dari hidup yang beragama. jihad sendiri mempunyai korelasi dengan teks-teks langit, dalam hal ini adalah wahyu-wahyu Tuhan yang selalu dijadikan sebagai landasan hidup bagi setiap pemeluk agamanya, teks-teks tersebut kemudian selalu dijadikan alat legitimasi dalam melakukan tindakan-tindakan (yang diangap sebagai tidakan) jihad.
·         Dalil-dalil tentang Jihad
Jihad merupakan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw, dan sumber pokok dari ajaran-ajaran Islam adalah Alquran dan Hadits, begitu pun dengan jihad, kalimat jihad di dalam Alquran cukup banyak dan diantara ayat-ayat tersebut yang membahas tentang Ayat-ayat Jihad adalah:

Surat Al-Ankabut ayat 6:
“Sesiapa yang berjihad maka sesungguhnya ia berjihad untuk dirinya sendiri.”

“Jika kedua orang tuanya berjihad terhadapmu agar kamu mempersekutukan Aku dengan apa-apa yang tidak ada pengetahuan padamu maka janganlah kamu mentaati keduanya.”

Surat Al-Ankabut ayat 69
“Dan orang-orang yang berjihad dijalan Kami, sungguh Kami benar-benar akan menunjukkan mereka pada jalan jalan Kami.”

Surat Luqman ayat 15
“Dan jika keduanya berjihad terhadapmu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu menta’ati keduanya….”

Surat At-taubah ayat 41

“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu dijalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. “

Surat At-Taubah ayat 86

“Dan apabila diturunkan surat (yang memerintahkan kepada orang munafik itu): Berimanlah kamu kepada Allah dan berjihad beserta Rasul-Nya, Niscaya orang-orang yang sanggup di antara mereka meminta izin kepadamu (untuk tidak ikut berjihad) dan mereka berkata: ” Biarlah kamu berada bersama orang- orang yang duduk.”



Dan diantara hadits yang membahas tentang jihad diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
Dari Abu Qutadah ra, dari Rasulullah saw, bahwasannya baginda telah berdiri dikalangan mereka kemudian menyebutkan, “Sesungguhnya Jihad fie Sabilillah dan Iman kepada Allah itu adalah amal-amal yang paling utama.” Maka berdirilah seseorang kemudian ia berkata: “Wahai Rasulullah bagaimana pendapat tuan sekiranya saya terbunuh fie sabilillah, apakah semua dosa-dosa saya terhapus?” kemudian Rasulullah menjawab: “Ya, jika engkau terbunuh fie sabilillah sedangkan engkau sabar, semata-mata mencari pahala, maju terus, tidak mundur.” Kemudian Rasulullah saw berkata: “Bagaimana tadi apa yang engkau katakan?” Ia bertanya: “Bagaimana pendapat tuan sekiranya saya terbunuh fie sabilillah, apakah semua kesalahan saya juga akan terhapus? Maka Rasulullah menjawab: “Ya, sedangkan kamu bersabar, semata- mata mencari pahala, maju terus tidak mundur, kecuali hutang (tidak akan terhapus), karena sesungguhnya Jibril as mengatakan demikian kepadaku.” [7]

·         Tokoh yang mengembangkan ajaran Jihad
Jihad yang terimplementasi dalam sebuah gerakan fisik adalah bermula dari gerakan intelektual, dan gerakan intelektual ini dapat ditelusuri dari pasca fitnatul kubra, saat itu terjadi perpecahan dalam tubuh umat Islam salah satunya adalah khawarij yang mempunyai keyakinan bahwa perintah Alquran untuk melakukan amar ma`ruf nahi munkar dan nahi munkar harus dijalankan secara harfiah, keras dan tanpa syarat atau pengecualian. Bagi mereka, dunia ini terbagi dua, Iman dan kafir, muslim dan non-muslim, perang dan damai. Perbuatan apapun yang tidak sesuai secara harfiah dengan hukum merupakan dosa yang berat atau pantas dihukum mati. Para pendosa besar tidak hanya dipandang sebagai kaum fasik namun juga sebagai orang kafir, mereka dianggap berkhianat dan pantas dihukum mati bila tidak mau bertobat.[8]
Pada periode selanjutnya banyak sekali tokoh-tokoh yang gencar dalam mengembangkan konsep jihad, dan dari sekian banyak tokoh tersebut Jhon Esposito menyederhankannya dalam konteks kekinian dengan menyebutkan tiga tokoh saja yakni Hasan Albana dan Abu a`la Almaududi tokoh ketiganya adalah yang mengembangkan pemikiran dari kedua tokoh tersebut, yakni Sayyid Quttub.[9]
Sayyid Qutb adalah godfather bagi gerakan-gerakan ekstrem Islam di seluruh penjuru dunia, ajaran-ajaran sayyid Quttub membeberkan dunia ini menjadi kutub-kutub hitam dan putih. Tak ada bayangan abu-abu. Karena pendirian pemerintahanadalah perintah Allah, dalihnya tak ada alternatif lagi selain berusaha mewujudkannya. Akan tetapi merupakan suatu keharusan bagi kaum muslimin untuk segera berjuang guna mengimplementasikan atau melaksanakannya, sebagaimana yang tercantum dalam tulisannya:

Hanya ada satu tempat saja di muka bumi ini yang dapat disebut sebagai negeri Islam (Daarul Islam), dan tempat itu adalah dimana negara Islam didirikann Syariah ditegakkan dan batasan-batasan Allah diindahkan dan dimana seluruh kaum muslimin mengatur urusan-urusan negara ini dengan prinsip musyawarah. Sedangkan bagian dunia lainnya adalah negeri peperangan (daarul harb).

Selanjutnya Quttub menyimpulkan bahwa perubahan di dalam sistem tidak ada gunanya dan bahwa Islam berada di tepi jurang kehancuran, maka jihadlah satu-satunya cara untuk menerapkan tatanan baru yang Islami.[10]
·         Macam-Macam Jihad
Salah satu kitab yang membahas tentang Jihad adalah kitab klasik yang berjudul I`anah al-Thalibin, didalam kitab tersebut memetakan macam-macam Jihad yang terbagi menjadi empat macam, yakni:
Pertama, dengan cara mempertegas keberadaan Allah Swt di muka bumi, ini bisa berbentuk zikir, wirid, dan takbir. Orang yang sering bertasbih, takbir, tahmid, dan tahlil setelah selesai melaksanakan shalat, maka sedikitnya ia telah berjihad di jalan Allah sebanyak lima kali dalam sehari. Selain itu, orang yang melantunkan adzan dapat juga dikategorikan sebagai orang yang sedang berjihad dengan cara penegasan keberadaan Allah (istbat wujudillah). Dengan demikian, ternyata disadari atau tidak kita seringkali melakukan jihad, yaitu dengan cara mengagungkan nama Allah. Singkatnya, jihad dengan cara itsbatu wujudillah sudah menjadi sebuah tradisi bagi umat Islam Indonesia.
Kedua, jihad dipahami sebagai upaya sungguh-sungguh dalam menegakkan nilai-nilai agama (iqamatu syariatillah), yaitu dengan cara melaksanakan shalat, membayar zakat, melaksanakan puasa, dan menunaikan ibadah haji. Bahkan Nabi sendiri memposisikan haji mabrur sebagai jihad yang paling utama sebagaimana dalam hadis riwayat Imam Bukhari beriktu ini.
Dari Aisyah r.a. berkata: Aku berkata: Wahai Rasulullah, Kami melihat bahwa jihad merupakan amal paling utama, apakah kita tidak berjihad? Jawab Nabi: Akan tetapi jihad yang paling utama adalah haji mabrur.
Begitu juga dengan cara memberikan zakat atau sedekah berarti kita telah melaksanakan jihad yang menurut surah Al-Anfal ayat 72, sebagaimana dikutip di awal tulisan ini, dikategorikan sebagai jihad bi al-amwal(jihad dengan harta). Maknanya adalah saling memberikan perlindungan antara sesama umat manusia melalui proses pengelolaan zakat secara apik dan profesional, sehingga zakat dijadikan sebagai salah satu cara untuk mengentaskan kemiskinan.
Demikian juga dengan puasa. Puasa dikategorikan sebagai jihad untuk melawan hawa nafsu. Tentu saja, jihad orang yang berpuasa belum dianggap berhasil apabila ia masih membuat keonaran, kerusakan, dan kehancuran di muka bumi.
Sedangkan Jihad yang ketiga adalah jihad yang dipahami sebagai berperang di jalan Allah (al-qital fi sabilillah). Artinya, jika ada komunitas yang memusuhi kita, merebut hak-hak kita, dan menindas kita, dengan cara-cara yang tidak dibenarkan agama, maka kita diperkenankan untuk berperang sesuai dengan aturan-aturan yang ditetapkan Allah.
Dalam catatan sejarah Indonesia, kita mengenal al-qital fi sabilillah melalui resolusi jihad yang difatwakan oleh tokoh pendiri NU, Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy`ari pada 22 Oktober 1945. Resolusi jihad inilah yang mendorong timbulnya pertempuran antara bangsa Indonesia dengan Inggris di Surabaya pada tanggal 10 Nopember 1945. Pertempuran ini terjadi bukan berlatar belakang agama. Resolusi jihad itu lebih ditekankan sebagai pembelaan bangsa Indonesia dalam mempertaruhkan tanah air dan melindungi semua komunitas, lepas dari latar belakan etnik, budaya, dan agama.
Dalam konteks al-qital fi sabilillah ini, Rasulullah Saw menggariskan peraturan yang sangat ketat. Misalnya, selama berperang dilarang membunuh anak-anak, perempuan, dan orang tua yang tidak ikut berperang. Selain itu dilarang menebang pohon-pohonan dan dilarang membakar tempat ibadah. Di sinilah Islam mengajarkan, kalaupun harus berperang fisik, tidak boleh bertindak seenaknya. Tetapi kita harus tetap memegang etika, baik pada alam, manusia, dan rumah ibadah umat lain yang berbeda keyakinan dengan kita.
Dan Jihad yang keempat adalah jihad  untuk mencukupi kebutuhan dan kepentingan orang-orang yang tidak mampu, baik itu muslim maupun kafir dzimmi. Pemenuhan kebutuhan ini termasuk pencukupan bahan pokok pangan, sandang, dan papan. Dengan demikian, negara yang memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan itu harus mengelolanya secara adil demi kepentingan seluruh komponen bangsa tanpa membedakan suku, ras, agama, dan golongan.[11]
Dan dalam memetakan aatau membagi wilayah Jihad, Ulama Fiqh membagi jihad menjadi tiga bentuk yaitu:

§  Berjihad memerangi musuh secara nyata,
§  Berjihad melawan setan,
§  Berjihad terhadap diri sendiri.[12]

Ketiga hal tersebut menurut al-Isfahani dicakup oleh firman Allah, “Berjihadlah demi Allah dengan sebenar-benarnya jihad.[13] Jelaslah, paling tidak jihad harus dilaksanakan untuk menghadapi setan, hawa nafsu, orang-orang kafir, munafik termasuk orang Islam sendiri yang dipandang membahayakan Islam.
Kaum muslimin yang boleh diperangi adalah mereka yang melampaui batas ketetapan Allah karena dinilai telah berbuat zalim. Atas dasar itu mereka wajar untuk dimusuhi Allah dan kaum mukmin yang lain. Perlu disadari, ijin memerangi kaum kafir bukan karena kekufuran atau keengganan mereka memeluk Islam, tetapi karena penganiayaan yang mereka lakukan terhadap “hak asasi manusia untuk memeluk agama yang dipercayainya.”
Demikian terlihat bahwa jihad beraneka ragam; memberantas kebodohan, kemiskinan dan kesemena-menaan adalah jihad yang tak kurang pentingnya daripada mengangkat senjata. Ilmuwan berjihad dengan memanfaatkan ilmunya, karyawan bekerja dengan karya yang baik, guru dengan pendidikannya yang sempurna, pemimpin dengan keadilan, pengusaha dengan kejujurannya, begitu seterusnya.
Dahulu, ketika kemerdekaan belum diraih, jihad mengakibatkan melayangnya jiwa, hilangnya harta benda, serta terurai kesedihan dan airmata. Kini harus membuahkan terpeliharanya jiwa dan terwujudnya kemanusiaan yang adil dan beradab, terhapusnya airmata, serta berkembangnya harta benda. Firman Allah.
·         Hukum Jihad
Menurut Bernand Lewis sejumlah Muslim modern, khususnya ketika menghadapi dunia luar, menjelaskan tugas jihad dalam pengertian spiritual dan moral. Namun sebagian muslim yang mengikuti ulama terdahulu yang mengikuti ulama terdahulu yang mengutip ayat-ayat dalam Alquran, tafsir, dan tradisi Nabi, membahas jihad dalam pengertian militer. Menurut hukum Islam, dibolehkan melakukan perang terhadap empat macam musuh, yakni kaum kafir, murtad, pemberontak dan penjahat.
 Walaupun keempatnya diboehkan, hanya dua pertama yang dianggap sebagai jihad. Dengan demikian jihad adalah kewajiban agama. Dalam membahas kewajiban perang suci, ahli syariat Islam klasik membedakan antara perang ofensif atau menyerang dan perang defensif atau bertahan. Dalam perang ofensif, hukum jihad adalah fardlu kifayah, oleh karena itu boleh ditinggalkan oleh sukarelawan dan profesional. Sementara dalam perang defensif hukumnya adalah fardlu `ain bagi setiap muslim yang tidak udzur.[14]
Jihad yang berhukum fardlu kifayah itu terjadi pada kondisi damai. Serta sebaliknya, dalam kondisi darurat dan mendesak, Jihad pun kemudian beralih rupa menjadi berhukum fardlu ‘ain. Yang patut dicatat adalah, di masa damai seperti sekarang ini, ketika para pemimpin dunia sepakat untuk menghentikan perlombaan adu senjata.
Seperti telah digariskan oleh fiqh, jawabnya tetap: Jihad. Perintah berjihad bertebaran di sana-sini, dan kita tidak boleh mengabaikannya begitu saja –walau di bawah aqad aman seperti sekarang ini Jihad berhukum fardlu kifayah.
Dalam pada itu, pada bukunya yang berjudul Jihad, H.A.R. Sutan Manshur mengetengahkan bahwa dalam kondisi damai Jihad berarti pembangunan. Jihad yang semacam inilah yang justru oleh Sutan disebut sebagai Jihad besar, yang memakan waktu dan tenaga yang juga akbar. Olehnya, Jihad di masa damai ini dinamakan dengan perang dingin; peperangan yang tidak lagi mengandalkan ketajaman pedang dan keganasan senapan, melainkan kedigdayaan strategi yang bertumpu pada tenaga otak plus amunisi sumber daya harta benda.[15]
·         Jihad Anti Kekerasan
Saat ini umat Islam di pelbagai belahan dunia mengalami ketertinggalan, baik dalam bidang ekonomi, politik, dan ilmu pengetahuan. Karena itu, jihad dalam konteks kekinian hendaknya diarahkan pada usaha-usaha melepaskan dari kondisi ini. Dalam kondisi ini dan dalam kondisi damai (tidak perang), jihad atau perjuangan sungguh-sungguh haruslah melalui gerakan intelektual dan pembebasan dari kungkungan pola pikir yang menghambat kemajuan.
Dalam memahami jihad, umat Islam seharusnya kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah maksudnya adalah mengeksplorasi semangatnya yang membebaskan, mencerahkan dan membuka mata terhadap realitas-realitas kehidupan yang berkembang ke depan tanpa henti.
Kembali kepada sumber otoritatif Islam adalah kembali menghidupkan makna-maknanya bagi kedamaian dan kesejahteraan manusia. Al-Qur’an sebagai sumber utama gerak dan dinamika Islam tidak boleh diberi makna terbatas, statis dan kaku. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari sifat keabadian dan universsalitas Islam.
Jika kaum muslim tetap ingin mengikuti kehidupan “salaf”, maka ia harus diberi makna secara genuin. Ia adalah nama bagi sebuah periode di mana kebebasan berfikir sangat dihormati, keterbukaan kepada orang lain (the other) menjadi cara membangun kehidupan bersama dan bekerja keras untuk menegakkan kehidupan yang berkeadilan hendaknya digelorakan dalam hati dan pikiran.
Kehidupan salafi juga harus diberi makna gerakan untuk membebaskan kemiskinan dan kebodohan masyarakat, membersihkan individu-individu dari kerakusan, kesombongan, arogansi, kemusyrikan dan kekafiran. Kekafiran dan kemusyrikan adalah sikap yang mengagungkan, menyembah atau mendewakan terhadap segala hal selain Allah Swt.
Cita-cita kaum salafi untuk mengembalikan kekhalifahan Islam dalam makna skriptu-ralistiknya adalah pandangan yang sama sekali tidak realistik dan mengingkari realitas-realita geo-politik yang telah mewujud dalam kehidupan masyarakat internasional yang saat ini sungguh-sungguh pluralistik.
Karena itu, otoritas politik tunggal untuk mengatur kaum muslim sedunia harus diberi makna baru. Ia adalah sebuah penyatuan ide dan gagasan besar untuk mewujudkan humanisme universal di mana tata kehidupan internasional yang adil harus diperjuangkan secara bersama-sama.
Langkah penyatuan gagasan ini harus dikerjakan dengan sunguh-sungguh, tidak dengan retorika-retorika kosong dan dengan menghilangkan mitos-mitos keunggulan rasialitas atau etnisitas. Inilah makna Jihad Islam untuk hari ini dan untuk hari mendatang. Ia adalah jihad intelektual, moral, spiritual dan aktual.[16]
Ada beberapa ibadah yang pahalanya setara dengan pahala jihad (jihad dalam pengertian peperangan), artinya dengan melakukan ibadah tersebut maka seseorang tidak mesti pergi ke medan perang untuk mengumandangkan sebuah jihad, jihad seperti ini adalah jihad yang anti kekerasan, jihad yang tidak mengedepankan gerakan fisik untuk melawan “musuh”, diantara jihad yang seperti ini adalah Haji Mabrur. menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang dzalim, berbakti kepada orang tua, menuntut ilmu dan mengembangkan Pendidikan dan membantu fakir miskin.
·         Haji mabrur
Haji yang mabrur merupakan merupakan ibadah yang setara dengan jihad. Bahkan, bagi perempuan, haji yang mabrur merupakan jihad yang utama. Hal ini ditegaskan dalam  sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, yang artinya:

Aisyah menyatakan bahwa Rasulullah SAW ditanya oleh isteri-isterinya tentang jihad,  beliau menjawab sebaik-baik jihad adalah haji. [17]

Dengan demikian, melakukan ibadah haji dengan status haji yang mabrur, maka perbuatan tersebut diberikan sebuah pahala dengan embalan yang setara dengan pahal jihad.

o   Menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang dzalim
Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia umat Islam berjihad melawan penjajahan Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang yang menimbulkan penderitaan kesengsaraan rakyat yang mayoritas beragama Islam. Sebagian melakukan perlawanan dengan cara perang gerilya, sebagian lainnya menempuh cara-cara damai melalui organisasi yang memajukan pendidikan dan mengembangkan kebudayaan yang membawa pesan anti penjajahan. Perintah jihad melawan penguasa yang zalim disebutkan, antara lain, dalam hadits riwayat at-Tirmizi:

Abu Said al-Khudri menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya diantara jihad yang paling besar adalah menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang zalim.

Kata yang palin besar pada hadits di atas, menunjukkan bahwa upaya menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang zalim merupakan suatu perjuangan yang sangat besar. Sebab, hal itu sangat mungkin mengandung resiko yang cukup besar pula.[18]
o   Berbakti kepada orang tua
Jihad yang lainnya adalah berbakti kepada orang tua. Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk menghormati dan berbakti kepada orang tua, tidak hanya ketika mereka masih hidup tetapi juga sampai kedua orang tua wafat. Seorang anak tetap harus menghormati orangtuanya, meskipun seorang anak tidak wajib taat terhadap orang tua yang memaksanya untuk berbuat musyrik, hal ini tercantum dalam Alquran surat Luqman ayat 14).
Jihad dalam berbakti kepada orang tua juga dijelaskan dalam sebuah Hadis yang artinya:

Seseorang datang kepada Nabi SAW untuk meminta izin ikut berjihad bersamanya. Kemudian Nabi SAW bertanya: apakah kedua orang tuamu masih hidup? Ia menjawab: masih, Nabi SAW bersabda: terhadap keduanya maka berjihadlah kamu.

Berjihad untuk orang tua, berarti  melaksanakan petunjuk, arahan, bimbingan, dan kemauan orang tua. Kata fajahid dalam hadis tersebut, berarti memperlakukan orang tua dengan cara yang baik, yaitu dengan mengupayakan kesenangan orang tua, menghargai jasa-jasanya, menyembunyikan melemahan dan kekurangannya serta berperilaku dengan tutur kata dan perbuatan yang mulia. Hal ini sesuai dengan firman Allah yang artinya:

"Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau keduanya sampai berumur lanjut, dalam peliharaanmu, maka sekali-kali janganlah mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia ".[19]

Islam begitu memperhatikan terhadap orang tua, karena walau bagaimana pun juga orang tua telah berjuang keras untuk menghidupi anaknya, oleh sebab itu maka Islam mengajarkan manusia untuk dapat berbuat baik kepada orang tua, dan sebaai imbalannya adalah seperti pahala mereka yang melakukan jihad dalam peperangan.

o   Menuntut ilmu dan mengembangkan pendidikan
Bentuk jihad yang lainnya adalah menuntut ilmu, memajukan pendidikan  masyarakat. Di dalam sebuah Hadis diriwayatkan Imam Ibnu Madjah disebutkan:
Orang yang datang ke masjidku ini tidak lain kecuali karena kebaikan yang dipelajarinya atau diajarkannya, maka Ia sama dengan orang yang berjinad di jalan Allah. Barang siapa yang datang bukan karena itu, maka sama dengan orang yang melihat kesenangan orang lain.

Orang yang datang ke mesjid Nabi untuk mempelajari dan mengajarkan ilmu sebagaimana disebutkan pada hadits di atas, diposisikan seperti orang yang berjihad di jalan Allah. Dengan semangat belajar, umat Islam dapat memajukan pendidikan, pengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi demi kesejahteraan umat. Salah satu  sebab kemunduran umat Islam adalah karena kelemahannya dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.[20]
    • Membantu Fakir-Miskin.
Jihad yang tidak kalah pentingnya adalah membantu orang miskin, peduli kepada sesama, menyantuni kaum duapa. Bantuan pemberdayaan dapat diberikan dalam bentuk perhatian dan perlindungan atau bantuan material. Hadis yang diriwayatkan Bukhori berikut ini menelaskan:
Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda, "Orang yang menolong dan memberikan perlindungan kepada janda dan orang miskin sama seperti orang yang melakukan jihad di jalan Allah."
Memberikan bantuan finansial dan perlindungan kepada orang miskin dan janda, merupakan amalan yang sama nilainya dengan jihad di jalan Allah. Sebab, jihad dan  perhatian atau kepedulian kepada orang yang membutuhkan bantuan, keduanya  samasama membutuhkan pengorbanan. Dengan membantu dan memperhatikan orang- orang lemah, kita dituntut untuk mengorbankan waktu, tenaga, dan harta untuk  kepentingan orang lain. Dan inipun, sangat sesuai dengan pengertian jihad yang  sesungguhnya. Pemahaman jihad yang baik dan berimplikasi positif terhadap umat Islam. Hasilnya setiap muslim memiliki sense of crisis, suka menolong terhadap orang lain, tidak mengobarkan permusuhan, menjauhi kekerasan, serta mengedepankan perdamaian. Jihad, juga dapat meningkatkan etos kerja umat Islam, yaitu semangat dan kesungguhan  melakukan tugas dan tanggung jawab dalam berbagai bidang kehidupan. Jihad dapat mengalahkan kemalasan dan ketakutan. Dengan semangat jihad, dapat menggunakan  semua potensi maksimal yang dimilikinya untuk mengaktualisasikan diri dan  meningkatkan sumber dayanya, sehingga dapat berguna bagi agama, nusa dan bangsa. [21]
Beberapa kelompok Islam, terutama kelompok Islam radikal yang selalu mengedepankan konsep Jihad telah memonopoli makna jihad hanya dalam pengertian jihad dalam peperangan dan tindakan-tindakan kekerasan, hal ini mesti diberikan pemahaman tentang jihad yang lain yang telah disebutkan diatas hal ini dilakukan agar wajah Islam tidak tampak menyeramkan di mata dunia internasional, karena semenjak tragedi WTC, Islam selalu diidentikkan dengan tindakan-tindakan kekerasan dan terorisme.



C.    PENUTUP
Jihad merupakan suatu ajaran yang pokok dari Islam dalam rangka untuk mempraktekkan prinsip amar ma`ruf dan nahii munkar guna menjadikan fungsi khalifah dari manusia menjadi realita. Jihad mendapat perhatian penting dalam Islam, sehingga Allah-pun menjanjikan balasan yang besar kepada orang-orang yang berjihad di jalan-Nya hal ini tercantum dalam Alquran surat An Nisa` ayat 95-96:

"Dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar, (yaitu) beberapa derajat daripada-Nya, ampunan serta rahmat. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang"

Pengartian jihad sangatlah kondisional dimana pemahaman substansi dari jihad (atau lebih lagi dalam usaha pengartian jihad yang paling baik) tidaklah terlepas dari usaha-usaha ijtihad manusia dalam membaca kondisi dan mendialogkan antara wahyu Al Quran dan kehidupan nyata ini.Konsep jihad sering diidentikan dengan perjuangan fisik, namun kemudian jika dalam memahami jihad hanya dimonopoli dalam gerakan fisik yang bersifat kekerasan maka hal itu akan bertentangan dengan sebuah jargon Islam yang selalu didengungkan, yakni rahmatan li al-`alamin. Hal ini tercantum dalm Alquran surat Al-anbiya ayat 107:

“Tidaklah Kami mengutus engkau melainkan sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia.”

Ibnu Abbas menerangkan bahwa rahmat tersebut bersifat umum mencakup orang yang baik-baik maupun orang yang jahat. Barang siapa yang beriman kepada beliau -Nabi Muhammad- maka akan sempurnalah rahmatnya di dunia sekaligus di akhirat. Adapun orang yang kufur kepadanya maka hukuman -yang sesungguhnya- akan disisihkan darinya sampai datangnya kematian dan hari kiamat.
Di antara bukti kasih sayang Islam kepada umat manusia adalah Islam tidak membenarkan penumpahan darah manusia tanpa alasan yang benar. Allah ta’ala berfirman didalam surat al-An’am ayat 15:  

“Janganlah kamu membunuh nyawa yang diharamkan Allah -untuk dibunuh- kecuali dengan sebab yang benar.”

al-Baghawi menjelaskan bahwa di dalam ayat ini Allah mengharamkan membunuh seorang mukmin dan mu’ahad -orang kafir yang terikat perjanjian keamanan dengan umat Islam- kecuali dengan sebab yang benar yaitu sebab-sebab yang membuat orang itu boleh dibunuh seperti karena murtad, dalam rangka qishash -bunuh balas bunuh-, atau perzinaan yang mengharuskan hukuman rajam bagi pelakunya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
 “Barang siapa yang membunuh seorang kafir yang terikat perjanjian -dengan kaum muslimin atau pemerintahnya- maka dia tidak akan mencium bau surga. Sesungguhnya baunya itu akan tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun.”

al-Munawi menjelaskan bahwa ancaman yang disebutkan di dalam hadits ini merupakan dalil bagi para ulama semacam adz-Dzahabi dan yang lainnya untuk menegaskan bahwa perbuatan itu -membunuh orang kafir mu’ahad- termasuk perbuatan dosa besar.
Demikian juga Islam tidak memperkenankan perilaku bunuh diri -meskipun dengan niat yang baik, yaitu untuk memerangi musuh- sebagaimana dalam firman-Nya (yang artinya),

“Janganlah kamu membunuh dirimu sendiri, sesungguhnya Allah Maha menyayangi dirimu.” (QS. an-Nisa’: 29).

Dalam hadis yang lain yang diriwayatkan oleh Imam Muslim Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barang siapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu alat maka dia akan disiksa dengannya pada hari kiamat.” [22]

Oleh sebab itu maka mesti ada reinterpretasi terhadap konsep Jihad yang memiliki korelasi dengan konsep atau jargon rahmatan li al-`alamin dalam hal ini jihad yang yang bersifat non-fisik, atau jika terpaksa harus melakukan gerakan fisik maka mesti ada sebuah kondisi yang memang terbelenggu atau tertindas, dengan kata lain dalam hal ini jihad (gerakan fisik) yang dimaksud adalah jihad yang bersifat defensif, atau bersifat mempertahankan diri.
Jihad yang mengedepankan gerakan fisik, tidak akan lepas dari sebuah genealogi pemikiran akut yang kemudian diaktualisasikan dalam gerakan fisik, dan jika harus menunjuk hidung, kelompok yang selalu menyebut jargon jihad sebagai sebuah gerakan fisik adalah biasanya adalah gerakan atau kelompok trans-nasional, salah satunya Ikhwanul Muslimin versi Sayyid Qutb, atau kelompoknya dinamakan dengan kelompok Qutbiyyah.
Dengan adanya kelompok seperti ini tentu akan berimbas pada kelompok Islam lainnya yang tidak  mengedepankan pada tindakan-tindakan kekerasan, karena dengan adanya kelompok radikal akan dijadikan sebagai prototype bagi kelompok Islam lainnya. Oleh sebab itu maka perlu adanya pemahaman yang paling tidak seimbang dalam memaknai dan memahami tentang jihad, hal ini dilakukan untuk mengcover kelompok Islam radikal yang efeknya akan merugikan kelompok Islam lainnya.
Dengan adanya pemahan yang seimbang tersebut diharapkan tidak ada lagi monopoli terhadap pemahaman jihad, dan jika dalam tataran pemikiran tentang jihad telah tercover maka kemungkinan besar dalam tataran tindakan pun akan tercover juga, pada saat yang sama hal ini akan menumbuhkan sekaligus meyakinkan kepada dunia Internasional bahwa Islam adalah rahmatana li al-`alamin.


[1] Bernard Lewis, KRISIS ISLAM; Antara Jihad dan Teror yang Keji,  (penj.Ahmad Lukman), (Jakarta; PT Ina Publikatama, 2004), cet. I,  hal. 28
[2] Abdullah Azzar, Perang Jihad di Zaman Modern, (Jakarta: Gema Insan Press, 1994), hal. 11
[3]
[4] Tim Penanggulangan Terorisme Melalui Pendekatan Ajaran Islam, Meluruskan Makna Jihad Mencegah Terorisme, (Jakarta: Departemen Agama: 2009), cet. III, hal. 17-18
[5] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam. (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), Cet. II, hal. 315.
[6] Abdul Aziz Dahlan (Ed.), Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), hal. 316
[8] Jhon Esposito, Unholy War: Teror Atas Nama Islam, (Penj. Syafruddin Hasani, (Yogyakarta: Ikon Teralitera: 2003), Cet. I, hal. 49-50
[9] Ibid, hal. 59
[10] Ibid, hal. 72-73
[12] Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam dalam Jihad dan Terorisme; Konsep dan Politik (Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 315
[13] al-Hajj: 22.
[14] Bernard Lewis, KRISIS ISLAM; Antara Jihad dan Teror yang Keji,  (penj.Ahmad Lukman), (Jakarta; PT Ina Publikatama, 2004), cet.  I, hal. 29-30
[15] H.A.R. Sutan Manshur, Jihad. (Jakarta: Panji Masyarakat: 1982), hal. 127
[17] Tim Penanggulangan Terorisme Melalui Pendekatan Ajaran Islam, hal. 27
[18] Ibid, hal. 28-29
[19] Ibid, hal. 29-32
[20] Ibid, hal. 32-33
[21] Ibid, hal. 33-34


DAFTAR PUSTAKA
Azzar, Abdullah, Perang Jihad di Zaman Modern, (Jakarta: Gema Insan Press, 1994)
Dahlan, Abdul Aziz (Ed.), Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996)
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam. (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), Cet. II
Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam dalam Jihad dan Terorisme; Konsep dan Politik (Jakarta: Paramadina: 1996)
H.A.R. Sutan Manshur, Jihad. (Jakarta: Panji Masyarakat: 1982)
Jhon Esposito, Unholy War: Teror Atas Nama Islam, (Penj. Syafruddin Hasani, (Yogyakarta: Ikon Teralitera: 2003), Cet. I
Lewis, Bernard, KRISIS ISLAM; Antara Jihad dan Teror yang Keji,  penj.Ahmad Lukman, (Jakarta; PT Ina Publikatama, 2004), cet. I,  hal. 28
Tim Penanggulangan Terorisme Melalui Pendekatan Ajaran Islam, Meluruskan Makna Jihad Mencegah Terorisme, (Jakarta: Departemen Agama: 2009), cet. III



Comments

Popular posts from this blog

Tasawuf dan Tarekat di Nusantara