Pondok Pesantren Al-Huda


Pondok Pesantren Al-Huda yang berlokasi di Dusun Pungangan Desa Rancabango Kecamatan Patokbeusi Kabupaten Subang Propinsi Jawa Barat, bisa dikatakan sebagai salah satu pondok pesantren yang cukup tua di Kabupaten Subang-Jawa Barat, karena pondok pesantren tersebut didirikan kurang lebih tiga tahun setelah Indonesia merdeka, yakni pada tahun 1948 oleh seorang ulama dari Kabupaten Garut-Jawa Barat yang bernama KH. Syamsudin bin Sulaiman.
Menurut cerita dari orang yang pernah hidup pada tahun 1950-an, Mama Syamsudin (panggilan khas untuk KH. Syamsudin) bisa sampai ke Subang atau tepatnya ke Dusun Pungangan tidak bisa lepas dari dinamika pergerakan politik dalam negeri, karena sekitar tahun 1947 KH. Syamsudin dipaksa untuk menjadi pengikut SM. Kartosuwiryo yang mempunyai cita-cita mendirikan Daarul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) atau lebih dikenal dengan nama Negara Islam Indonesia (NII) yang kemudian Kartosuwiryo baru memproklamasikannya pada tahun 1949. Mama Syamsudin menolak dan bahkan menentang terhadap nilai dan cita-cita yang diusung oleh NII dan akhirnya Mama Syamsudin dikejar-kejar oleh Tentara Islam Indonesia (TII) hingga sampailah ke Subang.
Untuk mencukupi kehidupan sehari-hari di Subang, Mama Syamsudin bekerja di Perusahaan perkebunan Singkong dan Nanas dan dikarenakan Mama Syamsudin mampu membaca serta menulis akhirnya pihak perusahaan mengangkatnya menjadi mandor di perkebunan tersebut.  Di perkebunan inilah kemudian Mama Syamsudin bertemu dengan Kyai Abdul Wahid, seorang pekerja yang berasal dari dusun pungangan, sebuah dusun unik yang ada di Kabupaten Subang, keunikan tersebut karena dusun ini dikelilingi oleh aliran sungai, jika mengintip bangunan kerajaan tempo dulu mungkin sungai tersebut seperti parit yang dibuat oleh para raja untuk melindungi kastilnya dari serangan musuh.
Dengan berjalannya waktu suasana keakraban pun terbentuk diantara keduanya, Kyai Abdul Wahid pun melihat kedalaman ilmu agama yang dimiliki oleh Mama Syamsudin, karena kedalaman ilmu yang dimiliki Mama Syamsudin ini lah kemudian membuat Kyai Abdul Wahid meminta kepada Mama Syamsudin untuk tinggal dan menetap di dusun Pungangan dalam rangka memberikan pendidikan, khususnya pendidikan agama bagi warga pungangan dan dengan senang hati Mama Syamsudin pun menerima tawaran tesebut.
Demi melancarkan kegiatan belajar mengajar, atas inisiatif sesepuh warga pungangan yang pada saat itu adalah Kyai Asy`ari, Mama Syamsudin diberikan berbagai fasilitas termasuk fasilitas sarana dan prasarana tempat belajar bagi santri. Sejak saat itu lah Mama Syamsudin mulai memberikan pelajaran kitab kuning kepada warga pungangan, pelajaran yang diberikan meliputi ilmu fiqh, tauhid, tasawuf, nahwu dan lain sebagainya. Tempat untuk kegiatan belajar ini kemudian diberi nama Al-Huda dengan harapan para peserta didik yang belajar di sana dapat diberikan hidayah dan petunjuk dari Allah Swt. untuk dapat hidup di jalan yang benar.
Pada sekitar akhir tahun 1948 dan awal tahun 1949, agar proses pembelajaran dapat maksimal kemudian Mama Syamsudin beserta para tokoh pungangan sepakat untuk membangun sebuah gedung pondok pesantren Al-Huda yang semi permanen. Selanjutnya, Mama Syamsudin memerintahkan kepada santri pungangan yang berprestasi untuk mendalami ilmu lagi ke beberapa pondok pesantren ternama, yaitu ke Jombang, Buntet, Purwakarta dan Bandung, hal ini penting sebagai bentuk kaderisasi agar ada generasi penerus yang mampu meneruskan cita-cita yang telah dirintis.
Setelah gedung tersebut dibangun beberapa santri yang berasal dari luar dusun pungangan pun mulai berdatangan untuk menimba ilmu di lembaga pendidikan yang dikelola oleh rois syuriah PCNU Kabupaten Subang pada tahun 1950-an tersebut. Semakin hari jumlah santri semakin bertambah hal ini membuat Mama Syamsudin pada tahun 1958 memutuskan untuk memisahkan antara santri puteri dengan santri putera, untuk santri puteri bertempat di gedung Ponpes Al-Huda Puteri dan langsung dipegang oleh Mama Syamsudin, sedangkan untuk santri putera bertempat di gedung Ponpes Al-Huda Putera yang lokasinya tidak jauh dari Ponpes Al-huda puteri, lalu sebagai pengelolanya Mama Syamsudin Mempercayakan Kepada KH. Abdul Karim bin Ali yang tiada lain adalah menantunya sendiri.
Melihat pentingnya lembaga pendidikan formal dan akhirnya pada tahun 1970-an Mama Syamsudin beserta para tokoh masyarakat sepakat untuk mendirikan lembaga pendidikan formal, yakni Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al-huda yang lokasinya sangat berdekatan sekali dengan Ponpes Puteri Al-Huda.
Seiring dengan berjalannya waktu, Mama Syamsudin pun meninggal dunia pada tahun 1977, tidak ada yang tahu persis berapa usianya pada saat itu, dan roda kepemimpinan Ponpes Al-Huda puteri pun dipegang oleh Istrinya, Ibu Nyai Syamsudin. Sementara untuk Ponpes Al-Huda putera tetap dipegang oleh KH. Abdul Karim. Melihat perkembangan zaman dan pentingnya lembaga pendidikan formal, akhirnya KH. Abdul Karim beserta tokoh-tokoh masyarakat pada tahun 1978 memantapkan diri untuk mendirikan lembaga pendidikan formal tingkat lanjutan, yakni Madrasah Tsanawiyah (MTs) Al-Huda yang kemudian gedungnya dibangun persis disamping gedung Ponpes Al-Huda Putera.
Berdasarkan istikhoroh dan dibarengi dengan hasil musyawarah keluarga bersama tokoh masyarakat akhirnya Pondok Pesantren Al-Huda Putera berganti nama menjadi Pondok Pesantren Al-Karimiyyah dan Pondok Pesantren Al-Huda Puteri menjadi Pondok Pesantren Al-Huda tanpa ada embel-embel “puteri”. Pada perkembangan selanjutnya, agar para lulusan MTs Al-Huda dapat melanjutkan pendidikan formalnya, akhirnya sekitar tahun 1980-an Madrasah Aliyah Al-huda pun didirikan dan gedungnya dibangun di samping gedung Ponpes Al-karimiyyah berhadapan dengan gedung MTs Al-Huda. Hanya sekedar informasi saja, hingga saat ini lembaga pendidikan formal tersebut, yakni MI, MTs dan MA Al-Huda masih tetap menunjukkan eksistensinya dan untuk para alumni Ponpes Al-Huda dan Al-karimiyyah ini sebagian besar menjadi ustad/kyai kampung yang mengelola lembaga-lembaga pendidikan Islam, seperti TKA/TPA, DTA dan guru serta kepala MTs, hal ini diungkapkan oleh Uzen Muzayyin, pengasuh ponpes Nurudzolam Kalijati Subang yang juga alumni Pungangan era 1980-an, menurutnya ketika beberapa bulan terakhir ada pertemuan “guru ngaji” di pemda Subang ternyata yang hadir pada pertemuan tersebut hampir separonya adalah merupakan alumni Pungangan.
Kurang lebih seperti itulah gambaran perjalanan singkat Ponpes Al-Huda, untuk saat ini, Pondok pesantren Al-huda dipimpin oleh Kyai Adang Kosasih yang tiada lain adalah putera dari Mama Syamsudin dan Pondok Pesantren Al-Karimiyyah dipimpin oleh Kyai Thala`al Badar Karim yang merupakan putera dari KH. Abdul karim, kedua pengasuh Ponpes tersebut belum lama ini menjadi pengurus MWC NU Patokbeusi, masing-masing diamanati menjadi Rois syuriah dan ketua tanfidziyah untuk periode 2012 – 2017.

Comments

Popular posts from this blog

Tasawuf dan Tarekat di Nusantara