SYURA

Pendahuluan
Demokrasi merupakan salah satu isu global yang terus berkembang hingga saat ini, perkembangan ini kemudian menjadikan wacana demokrasi semakin variatif, namun demikian semua meyakini bahwa kelahiran demokrasi merupakan sebuah proses yang lahir dari barat, dan pihak timur dalam hal ini adalah Islam memberikan interpretasi terhadap demokrasi dengan istilah syura.

Muhammad Abed Aljabiri, seorang pemikir Islam kontemporer dari Maroko mengemukakan bahwa ketika orang Arab mulai berhubungan dengan Barat dan pemikirannya yang liberal di abad ke 19, sebagian dari kaum salaf berusaha mencari apa yang sesuai atau mendekati konsep-konsep liberalisme Eropa dalam pemikiran Arab Islam klasik. Jika mereka dalam berbagai hal menemukan kesulitan dalam proses penyesuaian dan pendekatan itu, maka mereka tanpa menemukan kesulitan atau sekurang-kurangnya tanpa merasa ragu sedikitpun akan menyesuaikan onsep demokrasi Eropa dengan konsep syura dalam Islam. Dan sejak saat itulah bagi para pemikir yang berpikir hanya dalam kerangka otorita tradisi dan data-data yang disediakannya, demokrasi berarti satu hal, yakni syura. Masalah penyesuaian dan pendekatan ini telah berkembang hingga pada taraf pemikiran salaf atau fundamentalis – kedua-duanya tidak berbeda – enggan menggunakan kata demokrasi dengan alasan bahwa kata syura lebih tepat untuk mengungkap pengertian yang dikandung dalam istilah demokrasi.
Mereka - kaum salaf – telah berusaha menyesuaikan konsep syura dengan demokrasi bukan karena mengetahui kesesuaian antara keduanya, melainkan karena mereka melakukannya dalam kerangka aplikasi ideologis yang bertujuan agar para pemuka agama yang fanatik dan keras dan mungkin juga penguasa pada saat itu dapat menjadi tenang dengan seruan bahwa demokrasi tidak berarti upaya memasukkan bid`ah ke dalam wilayah Islam karena demokrasi sendiri hanyalah sebuah kata yang digunakan oleh orang barat untuk menunjukkan apa yang ada dalam istilah ummat Islam, yakni syura.
Pembahasan
Jika ditelusuri kata syura mempunyai arti mengambil, contoh yang dikemukakan oleh kamus-kamus dalam menjelaskan aarti kata ini adalah perkataan orang Arab: syartu al-`asal yang artinya aku mengambil madu dari tempatnya, juga ungkapan syawartu fulanan yang artinya mengemukakan pendapatku dan pendapatnya. Dengan demikian arti syura adalah mengambil sesuatu dari tempatny, yakni dari seseorang yang memang pantas diambil pendapatnya. Mengambil pendapat seseorang sama sekali tidak berarti adanya keharusan mengikuti pendapat itu, sebagaiman orang-orang yang diambil pendapatnya itu juga sama sekali tidak ditentukan dan dibatasi. Dengan demikian syura tidak mengikat penguasa dan tidak memberikan penentuan mengenai siapa yang harus diajak bermusyawarah. Itulah pengertian syura jika dilihat dari konteks bahasa.
Sedangkan jika dilihat dari konteks Alquran pada surat Ali Imron: 159 yang berbunyi:
“Bermusyawarahlah kamu dengan mereka mengenai urusan itu”
Menurut sebagian mufassir, pembicaraan ayat itu ditujukkan kepada nabi, sedangkan kata mereka dalam ayat tersebut merujuk kepada kaum muslim yang saat itu mengalami kekalahan dalam perang uhud, dengan demikian nabi diperintahkan untuk bermusyawarah dengan kaum muslim mengenai masalah perang dan kepada sesuatu yang seumpamanya tidak ada wahyu yang diturunkan. Sedangkan pada surat al-Syura ayat 38, yang berbunyi:
“Dan Mereka bermusyawarah mengenai urusan mereka”.
Ayat tersebut berbicara mengenai ciri-ciri orang yang beriman, bukan penguasa. Seorang mu`min (orang yang beriman) selalu bermusyawarah dengan saudaranya yang mu`min mengenai apa saja yang ingin ia lakukan, akan tetapi dalam melaksanakan hasil musyawarah tersebut buknalah suatu keharusan. Karena yang diperintahkan adalah bermusyawarah, dan bukan melaksanakan hasil musyawarah tersebut.
Inilah konsep syura yang dominan dalam otoritas tradisi, sebuah konsep yang berada dalam lingkaran kemuliaan akhlak dan kesopanan adat istiadat dan bukan dalam lingkaran kewajiban dan keharusan. Oleh sebab itu para ahli ushul di kalangan fuqaha dan lainnya tidak menganggap ayat tersebut sebagai dasar dalam pembuatan hukum syariat, namun hanya mengangapnya sebagai ayat-ayat yang mengajarkan akhlak Islam dan keutamaan keagamaan secara umum. Oleh sebab itu fiqh Islam sama sekali tidak memuat topic bahasan mengenai masalah syura. Sedangkan pembahasan para ahli kalam tentang khilafah sama sekali tidak tidak menyentuh sedikit pun mengenai masalah syura.
Mengenai materi yang dimusyawarahkan menurut Rasyid Ridha adalah sesuatu yang berkaitan dengan urusan dunia, bukan urusan agama, sebab jika urusan agama seperti keyakinan, ibadah, dan hukum-hukum yang telah ditetapkan oelh dimusyawarahkan, itu berarti ada campur tangan manusia didalamnya.
Singkatnya, tidak ahli fiqh maupun ahli kalam yang menjadikan syura sebagai syarat bagi kekhalifahan. Konsep fiqh berpijak pada pandangan bahwa seorang khalifah bertanggungjawab kepada tuhan saja, bukan kepada mereka yang membai`atnya, baik mereka yang membai`atnya dengan sukarela maupun terpaksa.
Dengan demikian, menurut Aljabiri, perbedaan antara syura dengan demokrasi adalah, jika syura hasil dari musyawarahnya tidak mesti dilaksanakan,.sementara dalam demokrasi hasil musyawarah wajib dilaksanakan, atau dengan kata lain syura sifatnya tidak mengikat, sementara demokrasi adalah mengikat.
Penutup
Seakan sudah menjadi sebuah kebiasaan bagi umat Islam, jika Barat menemukan sesuatu, dengan responsif sebagian dari mereka akan menganggap bahwa, apa yang telah ditemukan oleh barat tersebut ada dalam ajaran Islam, begitu pun ketika barat membumikan demokrasi, sebagian dari umat ilsma menyatakan bahwa, dalam Islam pun ada istilah yang sangat mirip sekali degan konsep demokrasi, yakni syura. Saya kira konsep syura adalah sebuah konsep yang lahir untuk mengcover demokrasi yang lahir dari barat.

DAFTAR PUSTAKA
Aljabiri, Muhammad Abed Syura: Tradisi-Partikularitas-Universalitas, penj. Mujiburrahman (Yogyakarta: LKiS, 2003), cet. I
Pulungan, J. Suyuti Prinsip-prinsip pemerintahan dalam piagam Madinah ditinjau dari pandangan Alqur`an, (Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada; 1994) cet. I,

Comments

Popular posts from this blog

Tasawuf dan Tarekat di Nusantara