MASA AKOMODASI ISLAM DAN PEMERINTAH

PENDAHULUAN
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang relijius dengan keyakinan beragama yang dianutnya, dan diantara beberapa agama yang ada, agama Islamlah yang menjadi pilihan dan banyak dianut oleh mayoritas bangsa Indonesia dan dari sini kemudian muncul beberapa organisasi Islam yang didirikan sejak jaman penjajahan dengan berbagai ciri khasnya, diantara organisasi Islam yang paling besar dan tetap eksis sampai saat ini adalah Muhammadiyah (berdiri 1912), Persatuan Islam (Persis, berdiri 1923) danNahdlatul Ulama (NU, berdiri 1926), walaupun ormas Islam ini telah berdiri lama, namun ternyata ini tidak menjadikan hubungan antara Islam dan pemerintah berjalan dalam garis linear, terutama sekali hubungan di era orde baru, hubungan yang dikembangkan di era ini sering memojokkan umat Islam, dan menurut A. M Fatwa, terdapat tiga fase dalam melihat hubungan Islam dan pemerintahan orde baru, yaitu:

Pertama adalah fase marjinalisasi (berjalan dari 1968 sampai 1985), dalam fase ini keberadaan umat Islam sungguh sengsara. Islam dianggap sebagai kelompok pembangkang dan segala aspirasi politiknya selalu dicurigai. Bahasa yang sering digunakan oleh rezim orde baru saat itu adalah Koji (komando Jihad), golongan anti pancasila dan kelompok ekstrem kanan yang mempunyai cita-cita ingin mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) dan semua istilah tersebut dimaksudkan untuk mendeskriditkan Islam dan dengan demikian Islam berada di tempat yang marjinal. Selanjutnya menurut A. M Fatwa semua terjadi dikarenakan pertama, pemerintah orde baru yang bersifat militeristik masih dibayangi oleh trauma sejarah terhadap pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok Islam dan masih dianggap sebagai kelompok pengganggu stabilitas dan kesatuan bangsa. Kedua rezim orde baru didominasi oleh kelompok figur atau kelompok yang anti-Islam dan Islam fobia.
Kedua adalah fase understanding (berjalan dari 1986 sampai 1989), pada fase ini ditandai dengan proses interaksi dan dialog antara kekuatan Islam (politik) dengan pemerintah. Secara politik, kaum muslim terpelajar dan mempunyai komitmen keislaman, mulai mengisi middle dan upper structure pemerintah. Simbol-simbol Islam mulai diperlihatkan, meskipun masih sebatas ritual-formalistik. Ini yang mempengaruhi pemerintahan orde baru dalam melihat Islam.
Terakhir adalah fase akomodasionis (berjalan dari 1989 sampai 1998), pada fase ini pemerintah mulai mengakomodasi hal-hal yang berbau keislaman dengan ditandai dengan didirikannya Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) dan mulai masuknya figur-figur Muslim ke dalam proses politik  dan sedikit banyak turut mempengaruhi kebijakan pemerintah. Oleh sebagian pengamat, hubungan yang simbiosis-mutualisme ini sering dikaitkan dengan pengalaman keagamaan Soeharto sebagai pemeluk Islam.[1]
PEMBAHASAN
            Seperti yang telah disinggung di awal bahwa pemerintahan mulai mengakomodasi Islam yang bercirikan formalisme dan legalisme adalah sejak tahun 1989, dan selanjutnya menurut Bahtiar Effendy bukti-bukti yang dapat menunjukkan sikap akomodatif pemerintah terhadap Islam mencakup kebijakan-kebijakan yang sejalan dengan kepentingan sosial-ekonomi dan politik Islam dan jika dikategorikan secara luas, bukti-bukti akomodasi ini dapat dapat digolongkan kedalam empat jenis yang berbeda, yaitu:
1.    Akomodasi Struktural
Salah satu bentuk akomodasi yang paling mencolok adalah direkrutnya para pemikir dan aktivis Islam politik generasi baru kedalam lembaga-lembaga eksekutif (birokrasi) dan legislatif negara. Bentuk akomodasi ini tidak berlangsung dalam sekejap, melainkan sudah bermula dengan direkrutnya beberapa aktivis Muslim ke dalam lembaga-lembaga negara seperti dalam tim ekonomi Soeharto, Golkar dan Bapennas.[2]
2.    Akomodasi Legislatif
Masih menurut Bahtiar Effendy, setidaknya ada lima hal penting yang berhubungan dengan bentuk akomodasi legislatif negara terhadap Islam, yaitu:
·         Undang-Undang Pendidikan Nasional (UUPN) tahun 1989 yang memasukan mata pelajaran agama ke dalam kurikulum pendidikan nasional.
·         Diberlakukannya Undang-Undang Peradilan Agama (UUPA) tahun 1989 dan kompilasi Hukum Islam tahun 1991 yang memulihkan dan memperkuat dan memperkuat status peradilan agama yang dikelola oleh Departemen Agama dalam memutuskan masalah-masalah perkawinan, warisan dan wakaf yang dipersengketakan oleh umat Islam.
·         Diubahnya kebijakan tentang jilbab tahun 1991 yang membolehkan bagi pelajar puteri (siswi) Muslim di lembaga pendidikan menengah untuk mengenakan jilbab ketika masuk sekolah.
·         Dikeluarkannya keputusan bersama tingkat menteri berkenaan dengan Badan Amil, Zakat, Infak dan Shadaqah (BAZIS) tahun 1991 yang bertugas mengumpulkan dan mendistribusikan zakat, infak dan shadakah.
·         Dihapuskannya Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB) tahun 1993, SDSB adalah bentuk undian yang berkedok sumbangan, dan undian ini terkesan bertentangan dengan ajaran Islam.[3]
3.    Akomodasi Infrastruktural
Jenis akomodasi ini pada dasarnya dirancang untuk menyediakan infrastruktur yang diperlukan guna membantu umat Islam dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban agama mereka, sejauh ini realisasi paling umum dari akomodasi jenis ini adalah pembangunan masjid-masjid yang disponsori oleh negara, ini bisa dilihat dengan meningkatnya 8,9 % jumlah masjid yang tadinya hanya berjumlah 507.175 gedung pada tahun 1985 menjadi 550.676 pada tahun 1990.[4]
4.    Akomodasi Struktural
Salah satu gambaran yang paling mencolok dari bentuk akomodasi ini adalah diterimanya idiom-idiom Islam dalam dalam perbendaharaan kosakata instrumen-instrumen politik dan ideologi negara, kita dapat melihat ada sepertiga dari dari kata dan ungkapan pancasila terdiri dari idiom-idiom Islam, seperti kata adil, adab, rakyat, hikmah, musyawarah dan wakil, dan kata Assalamu`alaikum dijadikan sebagai ucapan “salam nasional”. Bentuk akomodasi ini diperkuat lagi dengan diselengarakannya peristiwa kultural Islam yang berlangsung selam sebulan penuh yakni Festifal Istiqlal di Jakarta pada tahun 1991 dan 1995. [5]
PENUTUP
            Pada zaman orde baru memang Soeharto berhasil mengakomodir kepentingan-kepentingan umat Islam, tapi kita harus ingat bahwa Soeharto adalah seorang penguasa dan politisi ulung dan tentu saja segala kebijakan-kebijakannya adalah berdasarkan perhitungan-perhitungan politik termasuk kebijakan untuk mengakomodasi kepentingan dan kebutuhan umat islam mengingat mayoritas bangsa Indonesia adalah beragama Islam, jika ini tidak dilaksanakan maka kemungkinan besar akan terjadi pemberontakan-pemberontakan yang radikal karena dalam Islam sendiri terdapat konsep tentang peperangan dan perlawanan, yakni jihad dengan fisik.

Wallahua`lam....

DAFTAR PUSTAKA
A. M,  Fatwa, Satu Islam multipartai, (Bandung:  Mizan), 2000,  cet. I

Effendy, Bahtiar, ISLAM DAN NEGARA; Transformasi pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta; PARAMADINA), 1998, cet. I



[1] A. M Fatwa, Satu Islam multipartai, (Bandung:  Mizan), 2000,  cet. I,  hal 37-38
[2] Bahtiar Effendy, ISLAM DAN NEGARA; Transformasi pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta; PARAMADINA), 1998, cet. I,  hal. 273
[3] Bahtiar Effendy, ISLAM DAN NEGARA; Transformasi pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia,,  hal.  278-280
[4] Bahtiar Effendy, ISLAM DAN NEGARA; Transformasi pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, hal. 303-304
[5] Bahtiar Effendy, ISLAM DAN NEGARA; Transformasi pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, hal. 306-308

Comments

Popular posts from this blog

Tasawuf dan Tarekat di Nusantara