Mengambil Hikmah Dari Kisah Nabi Ibrahim Dan Ismail As (1) *)
Oleh: KH. Musyfiq Amrullah, Lc., M.Si **)
Iedul adha yang disebut juga iedul qurban
merupakan salah satu bentuk rutinitas ibadah tahunan yang dilakukan oleh kaum
muslimin seantero dunia yang dilakukan setiap tanggal 10 Dzulhijjah termasuk di dalamnya adalah umat islam Indonesia. Hari
raya iedul adha ini begitu monumental dan istimewa. Pantas kiranya, setiap kali
ia datang pada saat itu pula ummat islam mengumandangkan Takbir, Tahmid Dan
Tasbih secara serentak.
Hari
raya qurban berkaitan erat dengan ibadah haji yang acara-acara ritualnya berkaitan
pula dengan nabi Ibrahim Alaihisalam.
Beliau adalah sosok yang sangat diagungkan oleh agama-agama samawi (Islam,
Nasrani dan Yahudi) antara lain karena kesediaanya mengorbankan putra
kesayangannya Nabi Ismail Alaihisalam,
hal itu dilakukan tiada lain semata-mata hanya karena Allah Subhanahu Wata’ala.
Pada masa nabi Ibrahim dan sebelumnya,
seringkali manusia mengorbankan manusia yang lain dalam artian manusia
dijadikan korban atau “sasajen” kepada Tuhan-tuhan yang mereka sembah. Misalnya
gadis cantik di Mesir selalu dipersembahkan kepada Dewi sungai Nil, sementara
di kan’an (irak) bayi-bayi dipersembahkan kepada dewa Baal, Suku Aztek di
meksiko menyerahkan jantung dan darah mereka yang dipersembahkan kepada Dewa
Matahari, di Eropa Utara orang-orang Viking yang tadinya mendiami Skandinavia
mengorbankan pemuka-pemuka agama mereka kepada Dewa Perang Odin.
Fenomena sejarah tersebut memberikan kesan
bahwa pada saat itu nyawa manusia sama sekali tidak mendapatkan penghargaan
yang semestinya, manusia membunuh manusia yang lainnya seolah sudah menjadi hal
yang biasa bahkan dianggap sebagai kewajiban, dengan dalih untuk dijadikan sebagai
“sesajen” atau persembahan untuk Tuhan yang mereka sembah.
Nabi Ibrhaim Alaihisalam yang hidup pada abad
ke 18 SM berada pada persimpangan pemikiran kemanusiaan tentang pengurbanan
yang masih berwujud manusia. Ada yang masih menyetujui praktik-praktik
jahiliyah tersebut dan sebagian yang lain menyatakan bahwa manusia terlalu
tinggi dan mulia untuk dikorbankan kepada dzat yang tersembunyi.
Ketika dua pemikiran yang berseberangan tersebut
mengalami deadlock, Nabi Ibrahim Alaihisalam datang memberikan jalan
keluar berupa ajaran yang tawasuth
atau moderat sehingga bisa diterima oleh kedua belah pihak. Saat itu Nabi
Ibrahim diperintahkan oleh Allah melalui
mimpi untuk menyembelih anak kesayangannya, Nabi Ismail Alaihisalam, setelah kedua manusia mulia ini bermusyawarah akhirnya
sepakat dan siap untuk melaksanakan perintah Allah tersebut. Hal ini memberikan isyarat bahwa Nabi
Ibrahim begitu sungguh-sungguh dan totalitas dalam mengabdi kepada Allah, semua
perintah Allah dilaksanakannya termasuk mengurbankan putera kesayangannya
sendiri yaitu Nabi Ismail. Karena di dunia ini tidak ada yang lebih utama
kecuali mendapat ridla dari Allah Swt.
Tidak ada sesuatu yang tinggi jika dihadapkan
dengan perintah Allah, walaupun demikian bukan berarti Nabi Ibrahim mempertahankan
ritual mengorbankan manusia, bahkan sebaliknya peristiwa ini dalam rangka untuk
menyelamatkan manusia agar tidak ada lagi manusia yang dikurbankan, hal itu
terbukti ketika pisau dihujamkan dan digerakan untuk menyembelih putra
tersayang sebagai korban, tiba-tiba seekor domba besar dijadikan penggantinya
dan Nabi Ismail pun bisa selamat. Hal ini sekaligus memberikan isyarat bahwa
Allah begitu menyayangi manusia sehingga mengorbankan manusia merupakan hal
yang terlarang. Melalui ajaran Nabi Ibrahim pengorbanan terus dilestarikan
tetapi yang dikorbankan adalah binatang bukan manusia.
Dalam
kehidupan kita pada abad modern ini nilai-nilai qurban yang diajarkan Nabi Ibrahim
tersebut sering terlupakan bahkan sampai muncul ajaran terorisme yang sangat
jauh dari nilai-nilai keislaman, selain itu juga masih banyak praktek yang
mengarah kepada mengorbankan manusia walaupun untuk tujuan-tujuan yang tidak
luhur bahkan kadang-kadang keji dan semata-mata untuk memenuhi ambisi dan
kerasukan.
Peristiwa-peristiwa
yang dialami oleh Nabi Ibrahim Alaihisalam
yang puncaknya dirayakan sebagai Iedul Adha atau Hari Raya Qurban harus mampu
mengingatkan bahwa yang dikorban tidak boleh manusia, tetapi sifat-sifat
“kebinatangan” yang ada dalam diri manusia, seperti rakus, ambisi yang tak
terkendali, menghalalkan segala cara, menindas, menyerang, dan tidak mengenal
hukum dan norma-norma apapun. Sifat-sifat itulah yang harus kita bunuh
ditiadakan dan dijadikan qurban demi mencapai
“QURBAN’ (kedekatan)
diri kepada Allah Subhanahu Wataala. Itu sebabnya Allah Mengingatkan dalam Al-Qur’an , Surat Al- Hajj (22) ayat 37:
Artinya :
Daging dan darahnya sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhoan) Allah, tapi ketakwaan mullah yang dapat
mencapainya… ( Q.S. Al-Hajj : 37)
Inilah sebagian makna yang terkandung dalam hari raya qurban. Sesunguhnya
besar kecilnya materi yang dikurbankan tidak menjadi ukuran ketakwaan
seseorang, tetapi ketulusan karena allah lah yang diminta oleh-Nya. Dari
kisah nabi Ibrahim juga kita ambil pelajaran bahwa ketulusan adalah merupakan
sebuah keniscayaan dalam melaksanakan perintah Allah walaupun harus
mengorbankan jiwa karena keikhlasan adalah merupakan asas yang paling mendasar
didalam ibadah. Dan juga pengorbanan hanya kepada Allah jika pengorbanan (sesajen) ditunjukan selain Allah maka
dapat menggeser nlai ketauhidn seseorang dan jatuh kepada kemusyrikan.
*)Disampaikan
dalam Khutbah Idul Adha di Masjid Al-Barokah Pasar Lontar Kota Jakarta Utara pada 1 September
2017. Editor: Aiz Luthfi
**) Ketua Tanfidziyah PCNU Subang
Comments
Post a Comment