Tasawuf dan Tarekat di Nusantara
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang Masalah
Tasawuf adalah
salah satu cabang ilmu Islam yang menekankan dimensi atau aspek
spiritual dalam Islam. Dalam kaitannya dengan manusia, tasawuf lebih menekankan
aspek rohaninya ketimbang aspek jasmaninya. Dalam kaitannya dengan kehidupan,
ia lebih menekankan kehidupan akhirat ketimbang kehidupan dunia yang fana.
Orang yang ahli
dalam tasawuf disebut dengan seorang sufi. Seorang sufi menekankan aspek
rohaninya dari pada aspek jasmaninya. Seorang sufi selalu berusaha untuk
dekat dengan Tuhan-nya. Dan untuk mencapai itu, terdapat tingkatannya, yaitu
taubat, zuhud, sabar, kefakiran kerendahan hati, takwa, tawakkal,
kerelaan, cinta, ma'rifat. Dan dalam makalah ini akan mencoba membahas tentang
pengertian tasawuf, sejarah pertumbuhan dan perkembangan tasawuf, penyebaran serta
perjalanan tasawuf.
Mulanya
tasawuf bersifat individual, yaitu pengalaman individual orang-orang yang rutin
mendekatkan diri kepada Allah Swt. melalui eksperimen dan aktualisasi diri,
namun pada perkembangan selanjutnya beralih menjadi sebuah aliran atau kelompok
yang disebut dengan tarekat.
Peralihan
tasawuf yang bersifat personal pada tarekat yang bersifat lembaga tidak
terlepas dari perkembangan dan peluasan tasawuf itu sendiri. Semakin luas
pengaruh tasawuf, semakin banyak pula orang yang berhasrat mempelajarinya.
Mereka menemui orang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas dalam
pengalaman tasawuf yang dapat menuntun mereka. Belajar dari seorang guru dengan
metode mengajar yang disusun berdasarkan pengalaman dalam suatu ilmu yang bersifat
praktikal adalah suatu keharusan bagi mereka. Seorang guru tasawuf biasanya
memang memformulasikan suatu system pengajaran itulah yang kemudian menjadi
ciri khas bagi suatu tarekat yang membedakannya dari tarekat yang lain. [1]
Di beberapa wilayah, sebagaimana diceritakan
berbagai sumber setempat, Islam juga telah disebarkan dengan menggunakan
pedang, tetapi secara umum proses tersebut berlangsung dengan jalan damai. Ada
anggapan umum bahwa tasawuf dan berbagai tarekat telah memainkan peranan yang
menentukan dalam proses tersebut,[2]
termasuk di Indonesia.
B.
Perumusan Masalah
1.
Apa pengertian Tasawuf dan Tarekat?
2.
Apa saja tarekat yang ada di Nusantara?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tasawuf dan Tarekat
Tasawuf
Menurut
KH. Said Aqil Siraj, Secara bahasa, tasawuf paling tidak dinisbatkan kepada lima
akar kata, pertama adalah kata ash-shafa yang berarti bersih,
secara substansi memang benar, karena orang sufi selalu melakukan pembersihan-pembersihan jiwa dari
sesuatu yang mengotori hatinya, akan tetapi dari sisi lughawi kata itu
tidak sesuai karena mestinya orang yang bersih namanya shofai, bukan sufi.
Kedua, tasawuf merupakan kelanjutan dari ahlu ash-shuffah, yaitu
para sahabat muhajirin yang hijrah ke Madinah, di Madinah mereka tidak
mempunyai kerabat dan sahabat akhirnya mereka memilih bertempat tinggal di
serambi masjid Nabawi, disana mereka memfokuskan diri untuk beribadah kepada
Allah, diantara para sahabat tersebut adalah Abu Dzar Al-Ghifari, seperti
halnya ash-shafa, secara substansi memang benar, namun dari sisi bahasa
kata ahlu ash-shuffah tidak cocok, karena jika kata sufi dinisbatkan
kepada kata ahlu ash-shuffah mestinya adalah shuffiyun, dengan
tasydid pada huruf shad, bukan sufi.
Ketiga,
menurut Kang Said diambil dari nama seorang penjaga Ka`bah pada jaman Jahiliyah
yang bernama Shuufah, nama asli Shuufah ini adalah Al-Ghauts Bin
Mur, diceritakan pada musim panas yang luar biasa, ibunya Al-Ghauts Bin Mur ini
melewati Ka`bah dan mendapati anaknya pingsan karena tidak kuat menahan panas.
Ibunya lalu berkata: shara ibni shuufah (anakku jadi seperti kain lap).
Dari
sisi lughawi, ada kesesuaian jika kata sufi dinisbatkan kepada kata shufah,
namun dari sisi maknawi tentu saja akan terjadi persoalan, karena umat Islam
tentu tidak akan menerima jika orang atau tokoh sufi seperti misalnya Syekh
Abdul Qadir Jailani, Syekh Abu Hasan Asyadzili, Syekh Abdul Qadir Jailani, Imam
Ghazali dan para tokoh sufi lainnya dinisbatkan kepada tokoh atau orang yang
hidup pada jaman jahiliyah.
Penisbatan
kata sufi yang keempat, sufi berasal dari kata sufia (menggunakan huruf sin)
berasal dari bahasa Yunani yang artinya hikmah. Kata sufia ini secara
maknawi memang sesuai, karena tasawuf memiliki
hikmah, namun dari sisi lughawi kata sufia tidak cocok, karena
kata sufia menggunakan huruf ‘S’ atau sin, bukan shad, selain
itu, kata sufia ini ahistoris, karena penerjemahan buku-buku Yunani kuno
dilakukan pada masa khalifah Al-Mamun salah seorang khalifah dari bani
Abasiyah, sementara tasawuf sudah ada sebelum kekhalifahan Abasiyah.
KH.
Said Aqil Siraj sendiri lebih cenderung kepada asal kata yang kelima, yaitu shuf
yang berarti bulu domba, sebab pada zaman dahulu orang-orang yang ahli
beribadah, orang yang zuhud, mengasingkan diri di gua atau padang pasir dan
orang yang banyak riyadlah, pakaian mereka menggunakan bulu domba, seperti sahabat atau muridnya
Nabi Isa yang memakai baju putih disebut hawariyyin, maka orang sufi
disebut sufiyun, seperti fiil madi yang ditambahi dua huruf
menjadi khumasi, bunyinya tashawwafa, artinya memakai bulu domba,
taqammasha artinya memakai gamis, tasarwala, artinya memakai celana.[3]
Para ahli pun berbeda pendapat dalam
merumuskan pengertian tasawuf secara terminologi. Mahrus eL-Mawa mengutip
pernyataan Annemarie Schimmel dalam buku Dimensi
Mistik dalam Islam dimana dikatakan bahwa istilah tasawuf selaras dengan
sufisme, nama lain dari mistik Islam. Secara universal, menurut Abu al-Wafa’
al-Ganimi al-Taftazani dalam Madkhal ila
al-Tasawuuf al-Islam, tasawuf adalah falsafah hidup dan metode tertentu
dalam suluk yang dilakukan manusia
untuk merealisasikan kesempurnaan akhlak, pemahaman tentang hakekatnya, dan
kebahagiaan ruhaninya.
Menurut
Syekh Ibn Ajiba (1809), sufisme adalah pengetahuan yang dipelajari seseorang
agar dapat berlaku sesuai kehendak Allah melalui penjernihan hati dan
membuatnya riang terhadap perbuatan-perbuatan yang baik.
Ma’ruf
Al-Karkhi (w. 200 H) mengatakan, tasawuf menekankan hal-hal yang hakiki dan
mengabaikan segala apa yang ada pada makhluk. Barangsiapa yang belum
bersungguh-sungguh dengan kefakiran, berarti belum bersungguh-sungguh dalam
bertasawuf.[4] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tasawuf
adalah proses aktualisasi diri untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Tarekat
Menurut Harun
Nasution, tarekat berasal dari kata thariqah yang artinya jalan yang harus
ditempuh oleh seorang calon sufi agar ia berada sedekat mungkin dengan Allah. Thariqah kemudian mengandung arti
organisasi (tarekat). Setiap thariqah mempunyai syaikh, upacara ritual, dan
dzikir tersendiri.[5]
Secara lebih
lengkap Zamakhsyari Dhofier menjelaskan bahwa istilah ’tarekat’ berasal dari
kata Arab ’thariqah’. Sebagai suatu istilah generik, perkataan tarekat berarti
’jalan’ atau lebih lengkap lagi ’jalan menuju surga’ di mana waktu melakukan
amalan-amalan tarekat tersebut si pelaku berusaha mengangkat dirinya melampaui
batas-batas kediriannya sebagai manusia dan mendekatkan dirinya ke sisi Allah
SWT.[6]
Melengkapi pendapat di atas, Samsul Munir
Amin, dalam Ilmu Tasawuf mengatakan
tarekat (thariqah) mempunyai beberapa
arti, antara lain jalan lurus (Islam yang benar, berbeda dari kekufuran dan
syirik), tradisi sufi atau jalan spiritual (tasawuf), dan persaudaraan sufi.
Pada arti ketiga, tarekat berarti
organisasi sufi yang memiliki anggota dan peraturan yang harus ditaati, serta
berpusat pada hadirnya seorang mursyid.[7]
Dalam tradisi keilmuan Islam, istilah tarekat sama sekali tidak dapat
dipisahkan dari apa yang disebut tasawuf. Tentu saja tidak demikian sebaliknya,
karena tasawuf bisa saja terpisah tanpa ada hubungan langsung dengan tarekat.[8]
Pada awal mulanya, tarekat belum ada di dalam agama
Islam. Akan tetapi untuk memasuki dunia tasawuf, diperlukan satu jalan untuk
dapat mencapai tujuan utama yang ingin dicapai oleh seseorang. Dari situ
timbullah satu cara untuk mendaki satu maqam
ke maqam lainnya yang disebut
tarekat.[9]
Tasawuf secara
umum merupakan usaha mendekatkan diri kepada Allah dengan sedekat mungkin,
melalui penyesuaian rohani dan memperbanyak ibadah. Usaha ini biasanya
dilakukan di bawah bimbingan seorang syaikh. Ajaran-ajaran tasawuf ini
merupakan hakikat dari tarekat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tasawuf
ialah usaha mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan tarekat ialah jalan yang
ditempuh untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Gambaran ini menunjukkan bahwa
tarekat yang telah berkembang dengan berbagai variasi tertentu, sesuai dengan
spesifikasi yang diberikan guru kepada muridnya.[10]
Sejarah perkembangan tarekat dapat disimpulkan dalam
tiga fase. Fase pertama adalah tahap khanaqah. Khanaqah dalam istilah
sufi/tarekat adalah sebuah tempat atau pusat pertemuan. Seorang Syekh hidup
dengan muridnya dalam ikatan peraturan yang tidak terlalu ketat. Syekh menjadi
mursyid atau guru. Amalan-amalan/zikir dan metode yang mereka lakukan tidak
semuanya bersumber dari ajaran guru. Mereka melakukan kontemplasi kadang-kadang
secara individu, kadang-kadang secara bersam-sama. Hal ini terjadi sekitar abad
X Masehi.
Kedua adalah fase tarekat. Pada fase ini
ajaran-ajaran, metode, peraturan-peraturan sudah mulai terbentuk. Semua amalan
yang dilakukan berpusat pada ajaran guru. Guru adalah sosok kharismatik yang
wajib dipatuhi. Guru memiliki silsilah tarekatnya sampai kepada Rasulullah SAW.
Dalam tahap ini para sufi mencapai kedekatannya kepada Tuhan dengan
istilah-istilah tertentu seperti ma’rifat, mahabbah, dan sebagainya. Fase ini
berlangsung sekitar abad XIII Masehi.
Tahap ketiga adalah tha’ifiah yang terjadi sekitar
abad XV Masehi. Pada masa ini terjadi transisi ajaran dan peraturan kepada
pengikut. Pada tahap ini, tarekat memiliki arti lain yaitu organisasi sufi yang
bertujuan melestarikan ajaran Syekh. Murid, setelah masa tertentu, tidak lagi
harus bersama gurunya. Mereka boleh mendirikan cabang di tempat lain. Bahkan
banyak cabang tarekat yang pada akhirnya baerbeda dengan tarekat asalnya.[11]
Dalam kaintan inilah muncul dan berkembangnya berbagai organisasi tarekat atau
aliran tasawuf hingga saat ini.
B.
Hubungan
Tarekat dengan Tasawuf
Secara kelembagaan, tarekat pada dasarnya tidak dikenal
dalam Islam hingga abad ke-8 H atau abad ke-14 M. Artinya, tarekat sebagai
organisasi dalam dunia tasawuf, dapat dianggap sebagai hal baru yang tidak
pernah dijumpai dalam tradisi Islam periode awal, termasuk pada masa Nabi.
Tidak heran jika hampir semua jenis tarekat yang dikenal saat ini selalu
dinisbahkan kepada nama-nama para wali atau ulama belakangan yang hidup
berabad-abad jauh setelah Nabi.[12]
Pada hakekatnya tarekat adalah suatu cara pensucian
jiwa di dalam tasawuf yang ditempuh oleh seseorang atau sekelompok orang untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Kemudian cara ini berkembang dan menjadi
lembaga-lembaga yang terorganisir sedemikian rupa sehingga menjadi semacam
organisasi permanen.[13]
Karena itu, sesungguhnya tarekat adalah lanjutan dari usaha pengikut-pengikut
sufi untuk lebih menspesialisasikan praktek pensucian jiwa dengan sebuah sistem
yang terpimpin atau terlembagakan. Dengan kata lain tarekat adalah formalisasi
ajaran dan pengamalan tasawuf dalam bentuk yang lebih khusus. Tasawuf sebagai
bentuk pensucian jiwa yang bersifat individual berubah menjadi pensucian jiwa
yang bersifat komunal.
Namun istilah tarekat tidak lagi hanya bermakna
tasawuf yang diatur dengan cara tertentu, tetapi memiliki wilayah makna yang
lebih luas, termasuk di dalamnya ajaran sopan santun, cara berzikir, waktu
beramal dan lain-lain. Bahkan tarekat merambah ke masalah shalat, zakat, puasa,
haji dan jihad. Semuanya benar-benar tarekat dengan bimbingan dan aturan yang
sudah ada dalam tarekat itu.[14]
Dengan demikian tarekat adalah tasawuf yang telah
melembaga, tasawuf yang telah bersifat kelompok dangan ajaran dan aturan serta
cara-cara yang khas sesuai dengan bimbingan syekh yang mungkin telah ada secara
turun-temurun. Tarekat adalah aliran atau cabang-cabang tasawuf yang
dikembangkan oleh orang-orang tertentu yang telah mendapat restu dari tasawuf
atau tarekat tempat belajar sebelumnya
C.
Tarekat-tarekat di Nusantara
Pada
dasarnya Indonesia merupakan lahan yang subur sebagai tempat tumbuh dan
berkembangnnya sejumlah tarekat-tarekat sufi. Sejumlah tarekat mu’tabar yang
berkembang di negeri yang memperoleh julukan zamrud khatulistiwa ini,
ada sumber yang menyatakan sebanyak tujuh buah. Nama-nama ke tujuh buah tarekat yang dimaksud adalah: Qadiriyah,
Rifa’iyah, Naqsyabandiyah, Sammaniyah, Khalwatiyah, Khalidiyah dan al-Haddad.[15]
1.
Tarekat Qadiriyah
Tarekat Qadiriyah adalah satu tarekat yang berkembang didunia Islam,
termasuk di Indonesia. Tarekat ini didirikan oleh Abdul Qadir Jailani yang nama
lengkapnya Muhiddin Abu Muhammad Abdul Qadir bin Salih Al-Jailani (470 H – 561
H ).[16]
Tarekat qadariyah disebut juga tarekat Al Jilli. Tarekat ini berkembang di
Tiongkok dan Indonesia. Pengaruh tariqat ini cukup banyak meresap dihati
masyarakat yang dituturkan lewat bacaan manaqib pada acara tertentu. Naskah
asli manaqib ditulis dalam bahasa arab. Berisi riwayat hidup dan pengalaman
sufi Abdul Qadir Jailani sebanyak 40 episode. Manaqib ini dibaca dengan tujuan
agar mendapat berkah dengan sebab keramatnya.
2.
Tarekat Rifa’iyah
Tarekat ini didirikan oleh Ahmad binAli Abul Abbas (w. 578 H/ 1106M)/ nama
Rifa’i dinisbahkan kepada salah satu syekh tarekat yakni paman Abul Abbas yang
bernama Ahmad Rifa’iyah. Tariqat ini dilakukan dngan menggunakan tabuhan rabana
dalam wiridnya, yang diikuti dengan tarian dan permainan debus, yaitu menikam
diri dengan sepotong senjata tajam yang diiringi dengan dzikir-dzikir tertentu.
Permainan debus ini berkembang pula di daerah Sunda, khususnya Banten Jawa
Barat. Di Indonesia banyak tersebar di daerah Aceh, Sumatera Barat, Sulawesi,
Jawa dan daerah lainnya.
3.
Tarekat Naqsyabandiyah
Tarekat ini didirikan oleh Muhammad Bahauddin al Uwaisi al Bukhari al
Naqsabandiyah (727-791 H). Ia biasa disebut Naqsyaband yang berarti lukisan,
karena ia ahli dalam membarikan lukisan kehidupan yang ghaib-ghaib. Tariqat ini
banyak tersebar di Sumatra, Jawa maupun Sulawesi.Sumatera Barat tepatnya di
daerah Minangkabau. Tariqat ini tidak banyak dijelaskan ciri-cirinya.[17]
4.
Tarekat Sammaniyah
Tarekat Samaniah adalah salah satu cabang tarekat Syaziliah yang
memasyhurkan Tarekat Sammaniyah ialah Muhammad bin Abdul Karim As-Samani
(1718-1755 ).[18] ciri
tariqat ini dzikirnya dengan suara keras dang melengking, khususnya ketika
mengucap lafadz lailaha illa Alloh. Syaikh
saman juga mengajarkan agar memperbanyak shalat dan dzikir, kasihan pada fakir
miskin, jangan mencintai dunia, menukar akal basyariyah dengan akal robaniyah,
beriman hanya kepada Allah dengan tulus dan ikhlas.[19]
5.
Tarekat Khalawatiyah
Tarekat Khalawatiyah merupakan cabang dari Tarekat Suhrawardiyah, yang
dimasyhurkan di Khurasan (Iran) oleh Zahirudin (w.1397) dan berkembang dengan
pesat di Turki.[20]
Tarikat Khalawatiyah ini di Indonesia mula-mula tersiar di Banten oleh Syaikh
Yusuf Al- Khalwatiyah al-Makasari pada masa pemerintahan Sultan Ageng
Tirtayasa. Tarekat ini banyak pengikutnya di Indonesia dimungkinkan karena
suluk dari tarikat ini sangat sederhana dalam pelaksanaannya. Untuk membawa
jiwa dari tingkat yang rendah ke tingkat yang lebih tinggi melalui 7 tingkat
yaitu peningkatan dari hawa nafsu amarah, lawwamah, mulhamah, muthmainnah,
radhiyah, mardhiyah dan nafsu kamilah.[21]
6.
Tarekat Khalidiyah
Tarekat ini didirikan oleh Syaikh Sulaiman Zuhdi al Khalidi yang merupakan
cabang dari tarekat Naqsabandiyah di Turki, yang berdiri pada abad XIX.
pokok-pokok tarikat al khalidiyah ini berisi tentang adab dan dzikir, tawassul
dalam tarikat, adab suluk, tentang saik dan maqamnya, tentang ribath dan
beberapa fatwa pendek dari Syaikh Sulaiman al-Zuhdi al-Khalidi mengenai
beberapa persoalan yang diterima dari bermacam-macam daerah.
7.
Tarekat al Haddad
Tarekat ini didirikan oleh Sayyid Abdullah bin Alawi bin Muhammad al
Haddad. Tarekat ini berkembang di Hijaz, Hadramaut, India, Indonesia dan Afrika
Timur. Ia merupakan pencipta ratib haddad dan dianggap sebagai salah seorang
wali qutub dan Arifin dalam ilmu tasawuf. Ia banyak mengarang kitab-kitab dalam
ilmu tasawuf. Tarekat ini bercirikan berisi nasehat-nasehat Agama dan
wasilah-wasilah dalam mencapai akhirat.[22]
Di Indonesia, organisasi yang concern dalam dunia
tasawuf dan tarekat adalah Nahdlatul Ulama (NU) dan Indonesia merupakan Negara
yang paling banyak jumlah aliran tarekat di dunia, karena saat ini jumlah
tarekat yang dianggap mu`tabarah oleh Nahdlatul Ulama (NU) berjumlah 45 aliran.[23]
D. Tata Cara Pelaksanaan Tarikat
Tata cara pelaksanaan tariqat antara lain :
1. Dzikir,
yaitu ingat yang terus menerus kepada Allah SWT dalam hati serta menyebutkan
namaNya dengan lisan. Dzikir ini berguna sebagai alat kontrol bagi hati,
ucapan, perbuatan agar tidak menyimpang dari garis yang sudah ditetapkn Allah.
2. Ratib, yaitu
mengucap lafal la ilaha illa Allah dengan gaya, gerak dan irama tertentu.
3. Musik, yaitu
dalam membacakan wirid-wirid dan syair-syair tertentu diiringi dengan
bunyi-bunyian (instrumentalia) seperti memukul rabana.
4. Menari,
yaitu gerak yang dilakukan mengiringi wirid=wirid dan bacaan-bacaan tertentu
untuk menimbulkan kekhidmatan.
5. Bernafas,
yaitu mengatur cara bernafas pada waktu melakukan dzikir yang tertentu. [24]
BAB
III
PENUTUP
Setelah
dibahas beberapa masalah yang dianggap penting untuk dipahami pada uraian
terdahulu, maka dalam bab penutup ini akan dikemukakan kesimpulan-kesimpulan
sebagai berikut:
1.
Tasawuf adalah
proses aktualisasi diri untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
2. Tarekat adalah jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan yang ditempuh oleh
kaum sufi yang diyakini bersumber dari Rasulullah saw, kemudian dalam
perkembangannya terbentuk menjadi satu lembaga kerohanian Islam yang
terorganisir di bawah bimbingan seorang Syekh dengan sejumlah murid yang
belajar kepadanya.
3. Tarekat yang terkenal berjumlah tujuh, yaitu: Nama-nama ke tujuh buah tarekat yang dimaksud adalah: Qadiriyah,
Rifa’iyah, Naqsyabandiyah, Sammaniyah, Khalwatiyah, Khalidiyah dan
al-Haddad.
DAFTAR PUSTAKA
Rosihon
Anwar dan Muktar Solihin, Ilmu Tasawuf, Cet. IV (CV. Pustaka Setia 2007), h.
167
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di
Indonesia, (Bandung: Mizan, 1995), cet. I,
Mahrus
eL-Mawa, Naskah Syattariyah Cirebon: Riset Awal dalam Konteks Jejaring Islam
Nusantara, Annual Conference On Islamic
Studies (ACIS) Ke-10, h.314
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1986),
jilid II, cet. ke-1, h. 89
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa
Depan Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2011), cet. ke-9, h. 212
Samsul
Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta:Amzah, 2012), h.
294
Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau: Teks dan Konteks, (Jakarta:
Prenada Media Group, 2008), cet. ke-1, h. 25
Khairuddin,
Inabah; Jalan Kembali dari Narkoba, Stress
dan Kehampaan Jiwa, (Jakarta, Bina
Ilmu, 2005), h. 122.
Azyumardi
Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII, (Bandung: Mizan, 1994), cet.ke-1, h.
109
Said
Hawa, Terj. Khairul Rafie M dan Ibn Thoha Ali, Jalan Ruhani, (Bandung;
Mizan, 1995 ),, h. 95.
Khailili
Albamar, Ajaran Tarekat, Bintang Remaja, ttp, tt, h. 47-82.
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. I., h. 273.
Djamaan Nur, Tasawuf dan Tarekat Naqsabandiyah, (Usu Press,
2002 ), Cet.II, h. 148.
[1] Rosihon Anwar
dan Muktar Solihin, Ilmu Tasawuf, Cet. IV (CV. Pustaka Setia 2007), h. 167
[2] Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning,
Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan,
1995), cet. I, h. 187-188
[3] KH. Said Aqil
Siraj, pada kuliah Tasawuf Program S2 SKI STAINU Ciganjur, Sabtu, 19 Oktober 2013
[4] Mahrus
eL-Mawa, Naskah Syattariyah Cirebon: Riset Awal dalam Konteks Jejaring Islam
Nusantara, Annual Conference On Islamic
Studies (ACIS) Ke-10, h.314
[5] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1986), jilid II, cet. ke-1, h. 89
[6] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi
Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan
Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2011), cet. ke-9, h. 212
[8] Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyah di Minangkabau: Teks dan
Konteks, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), cet. ke-1, h. 25
[11] Khairuddin, Inabah; Jalan Kembali dari Narkoba, Stress dan
Kehampaan Jiwa, (Jakarta, Bina Ilmu,
2005), h. 122.
[12] Azyumardi
Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII, (Bandung: Mizan, 1994), cet.ke-1, h.
109
[13] Said Hawa,
Terj. Khairul Rafie M dan Ibn Thoha Ali, Jalan Ruhani, (Bandung; Mizan,
1995 ),, h. 95.
[14] Khailili
Albamar, Ajaran Tarekat, Bintang Remaja, ttp, tt, h. 47-82.
[15]Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1996), Cet. I., h. 273.
[16] Djamaan Nur, Tasawuf
dan Tarekat Naqsabandiyah, (Usu Press, 2002 ), Cet.II, h. 148.
[17] Abuddin Nata, Akhlak
Tasawuf, h. 274
[18] Djamaan, Tasawuf,
h.153
[19] Abuddin Nata, Akhlak
Tasawuf, h. 275
[20] Abuddin Nata, Akhlak
Tasawuf, h. 154.
[21] Abuddin Nata, Akhlak
Tasawuf, h. 275
[22] Abuddin Nata, Akhlak
Tasawuf, h. 276
[23] KH. Said Aqil
Siraj, Indonesia, Negara dengan Aliran Tarekat Terbanyak di Dunia,
diunduh dari http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,48760-lang,id-c,nasional-t,Indonesia++Negara+dengan+Aliran+Tarekat+Terbanyak+di+Dunia-.phpx , pada selasa 7/1/2014. Pukul 13.45 WIB
[24]
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf, 1996, hal. 276
Comments
Post a Comment