SEJARAH TERBENTUKNYA NEGARA
A.
Pendahuluan
Negara merupakan integrasi dari kekuasaan
politik dan organisasi pokok dari kekuasaan politik, selain itu negara
merupakan agency (alat) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk
mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan
gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat. Manusia hidup dalam suasana
kerjasama, sekaligus suasana antagonististis dan penuh pertentangan. Negara
adalah organisasi yang dalam suatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara
sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan yang dapat menetapkan
tujuan-tujuan dari kehidupan bersama tersebut. Negara merupakan cara-cara dan
batas-batas sampai dimana kekuasaan dapat digunakan dalam kehidupan bersama
itu, baik oleh individu dan golongan atau asosiasi, maupun oleh negara sendiri.
Dengan demikian ia dapat mengintegrasikan dan membimbing kegiatan-kegiatan
sosial dari penduduknya ke arah tujuan bersama. Dengan demikian, bisa dikatakan
bahwa negara mempunyai dua tugas, yakni:
1. Mengendalikan
dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang a-sosial, yaitu yang bertentangan
satu sama lain, supaya tidak menjadi antagonisme yang membahayakan.
2. Mengorganisir
dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan-golongan ke arah tercapainya
tujuan-tujuan dari masyarakat seluruhnya. Negara menentukan bagaimana kegiatan
asosiasi-asosiasi kemasyarakatan disesuaikan satu sama lain dan diarahkan
kepada tujuan nasional.
Pengandalian ini dilakukan berdasarkan sistem
hukum dangan perantaraan pemerintah beserta segala alat-alat perlengkapannya.
Kekuasaan negara mempunyai organisasi yang paling kuat dan teratur, maka dari
itu semua golongan atau asosiasi yang memeperjuangkan kekuasaan harus dapat menempatkan
diri dalam rangka ini.[1]
B.
Definisi Negara
Beberapa tokoh atau pemikir ilmu politik cukup
beragam dalam mendefinisikan tentang negara.
Diantaranya adalah:
a. Roger H.
Soltau, menurutnya negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang
mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat.
b. Harold J.
Laski, negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai
wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada
individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu. Masyarakat
adalah suatu kelompok manusia yang hidup dan bekerja sama untuk mencapai
terkabulnya keinginan-keinginan mereka. Masyarakat merupakan negara jika cara
hidup yang harus ditaati baik oleh individu maupun oleh asosiasi-asosiasi
ditentukan oleh suatu wewenang yang bersifat memaksa dan mengikat.
c. Max
Weber, negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan
kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah.
d. Robert M.
Mac Iver, negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban suatu wilayah
dengan berdasarkan sistem hukum yang diselnggarakan oleh suatu pemerintah dan
untuk maksud tersebut diberi kekuasan.
Dari
beberapa definisi-definisi tersebut, kemudian Miriam Budiarjo mendefinisikan
negara sebagai suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah (governed)
oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut warga negaranya ketaatan pada
peraturan perundang-undangannya melalui penguasaan (kontrol) monopolistis dari
kekuasaan yang sah.[2]
C.
Sejarah terbentuknya negara
Dalam
mengidentifikasi terbentuknya negara dapat dilihat dari beberapa pendekatan dan
teori, yakni teori kontrak sosial, teori ketuhanan, teori kekuatan, teori
organis, teori historis, teori patriarkal dan matriarkal, teori daluarsa dan
teori idealistis.
1. Teori Perjanjian
Masyarakat (Sosial contract)
Teori kontrak sosial atau teori
perjanjian masyarakat beranggapan bahwa negara dibentuk berdasarkan perjanjian-perjanjian
masyarakat. Teori ini adalah salah satu teori yang terpenting menegnai sal-usul
negara. Disamping tertua, teori ini juga relatif bersifat universal, karena
teori perjanjian masyarakat adalah teori yang termudah dicapai dan negara tidak
merupakan negara tiranik.penganut teori kontrak sosial ini mencakup para pakar
dari paham kenegaraan yang absolutis sampai ke penganut paham kenegaraan yang
terbatas. Untuk menjelaskan teori asal mula negara yang didasarkan atas kontrak
sosial ini dapat dilihat dari beberapa pakar yang mempunyai pengaruh dalam
pemikiran politik tentang negara, yakni Thomas Hobbes, John Locke dan JJ.
Rousseau.
a. Thomas
Hobbes (1588 – 1679)
Hobbes mengemukakan bahwa kehidupan manusia terpisah dalam dua
zaman, yakni keadan sebelum adanya negara dan keadaan setelah ada negara. Bagi
Hobbes keadaan alamiah sama sekali tidak bukan keadaan yang aman sentosa, adil
dan makmur. Tetapi sebaliknya, keadaan alamiah itu merupakan suatu keadaan
sosial yang kacau, suatu inferno di dunia ini tanpa hukum yang dibuat
oleh manusia secara sukarela dan tanpa pemerintah, tanpa ikatan-ikatan sosial
antar individu itu.
Dalam keadaan demikian, hukum dibuat oleh mereka yang fisiknya
terkuat sebagaimana keadaan di hutan belantara. Mausia seakan-akan merupakan
binatang dan menjadi mangsa dari manusia yang fisik yang lebih kuat darinya.
Keadaan ini dilukiskan dalam peribahasa latin homo homini lupus. Manusia
saling bermusuhan dan saling berperang satu sama lain, dan perang tersebut
bukan dalam bentuk perang yang terorganisir, tetapi perang dalam arti keadaan
bermusuhan yang terus menerus antara individu dengan individu lainnya.
Keadaan tersebut tidak dapat dibiarkan berlangsung terus, manusia
dengan akalnya mengerti dan menyadari bahwa demi kelanjutan hidup mereka
sendiri, keadaan alamiah tersebut harus diakhiri. Hal ini dilakukan dengan
mengadakan perjanjian bersama individu-individu yang tadinya hidup dalam
keadaan alamiah berjanji akan menyerahkan hak-hak kodrat yang dimilikinya
kepada seseorang atau sebuah badan. Dan selanjutnya dengan adanya perjanjian
tersebut maka terbentuklah negara yang dianggap dapat mengakhiri anarkhi yang
menimpa individu dalam keadaan alamiah itu.[3]
Bagi Hobbes, perjanjian tersebut terjadi antar individu, bukan
antara individu dengan negara. Maka menurut Hobbes, yang terkait sepenuhnya
terhadap perjanjian tersebut adalah individu-individu tersebut. Negara sendiri
bebas karena tidak terikat oleh perjanjian, ia berada diatas individu. Negara
bebas melakukan apapun yang dikehendakinya terlepas sesuai atau tidak dengan
dengan kehendak individu. Negara versi Hobbes ini juga tidak memiliki tangung
jawab apa pun terhadap rakyat.[4]
b. John
Locke
Dalam konsep tentang keadaan alamiah (state of nature),
Locke dan Hobbes memiliki perbedaan,. Hobbes melihat keadaan alamiah sebagai
suatu keadaan anarkhi, sementara Locke melihat keadaan itu sebagai suatu
keadaan of peace, goodwill, mutual assistance and preservation.
Sekalipun keadaan itu suatu keadaan ideal, namun Locke juga merasakan bahwa
keadaan itu potensial dapat menimbulkan anarkhi, karena manusia hidup tanpa
organisasi dan pimpinan yang dapat mengatur kehidupan mereka dalam keadaaan
alamiah setiap individu sederajat baik mengenai kekuasaan maupun hak-hak
lainnya, sehingga penyelenggaraan kekuasaan dan yurisdiksi dilakukan oleh
individu individu sendiri-sendiri, dengan demikian dalam dirinya sendiri mengan
dung potensi untuk menimbulkan kegaduhan dan kekacauan. Oleh karena itu manusia
membentuk negara dengan suatu perjanjian bersama.
Menurut Locke, dasar kontraktual dari negara sebagai peringatan
bahwa kekuasaan negara tidak pernah mutlak, melainkan terbatas, sebab dalam
mengadakan perjanjian dengan seorang atau sekelompok orang, individu-individu
tidak menyerahkan hak-hak alamiahnya kepada mereka, karena ada hak-hak alamiah
yang merupakan hak hak-hak asasi tidak dapat dilepaskan.[5]
Berbeda dengan Hobbes, menurut Locke karena kekuasaan negara
terbentuk dari concent rakyat dan produk perjanjian sosial warga negara,
maka kekuasaan itu itdak bebas dan otonom berhadapan dengan aspirasi dan
kehendak rakyat. Hubungan antara penguasa poltik dengan rakyat yang diperintah
diumpamakan seseorang yang memberikan kepercayaan kepada orang lain untuk
mengatur dirinya. Maka hak bertindak dan mengatur yang dimiliki negara bisa
ditolelir dan dibenarkan sejauh tidak mengganggu hak-hak sipil dan politik
rakyat.[6]
c. Jean Jacques
Rousseau.
Rousseau memisahkan suasana kehidupan manusia dalam dua zaman,
yakni zaman pra-negara dan zaman bernegara. Keadaan alamiah itu diumpakan
sebagai keadaan sebelum manusia
melakukan dosa, suatu keadaan yang aman dan bahagia. Karena keadaan
alamiah itu tidak dapat dipertahankan seterusnya, maka manusia dengan penuh
kesadaran mengakhiri keadaan itu dengan dengan suatu kontrak sosial, dengan
adanya kontrak sosial tersebut kemudian terjadi peralihan dari keadaan alamiah
ke keadaan bernegara.
Negara atau “badan korporatif kolektif” dibentuk untuk menyatakan
“kemauan umum” (general will) dan kemauan umum tidak berarti kemauan
seluruh rakyat, adakalanya perbedaan-perbedaan antara kemauan umum dan kemauan
seluruh rakyat (will of all). Kemauan umum selalu benar dan ditujukan
pada kebahagiaan bersama, sedangkan kemauan seluruh rakyat juga memperhatikan
kepentingan individual (particular interest).
Dengan konstruksi perjanjian masyarakat tersebut, Rousseau
menghasilkan bentuk negara yang kedaulatanya berada dalam tangan rakyat atau
jenis negara yang demokratis melalui kemauan umumnya.[7]
2. Teori Ketuhanan
Teori ketuhanan ini dikenal juga dengan
doktrin teokratis dalam teori asal mula negara. Teori ini pun bersifat
universal dan ditemukan baik si dunia Timur maupun di dunia Barat, baik di
dalam teori maupun di dalam praktik. Doktrin ketuhanan ini memperoleh bentuknya
yang sempurna dalam tulisan-tulisan para sarjana Eropa pada abad pertengahan
yang menggunakan teori itu untuk mengemukakan hak-hak raja yang berasal dari
Tuhan untuk memerintah dan bertahta sebagai raja (devine rights of kings)
doktrin ketuhanan lahir sebagai resultante kontroversial dari kekuasaan
politik dalam abad pertengahan. Kaum “monarchomach” (penentang raja) berpendapat bahwa raja yang
berkuasa secara tiranik dapat diturunkan dari mahkotanya, bahkan dapat dibunuh.
Mereka beranggapan bahwa sumber kekuasaan adalah rakyat, sedangkan raja-raja
pada waktu itu beranggapan bahwa kekuasaan mereka diperoleh dari Tuhan.
Negara dibentuk oleh Tuhan dan
pemimpin-pemimpin negara ditunjuk oleh Tuhan. Raja dan pemimpin-pemimpin negara
hanya bertanggung jawa pada Tuhan dan tidak pada siapa pun. Teori teokratis
seperti ini memang sudah amat tua dan didasarkan atas sabda Paulus yang
terdapat dalam Rum XIII ayat 1 dan 2.
Thomas Aquinas mengikuti ajaran Paulus
yang menganggap Tuhan sebagai principum dari semua kekuasaan, tetapi
memasukan unsur-unsur sekuler dalam ajaranya itu, yaitu bahwa sekalipun Tuhan
memberikan princium itu kepada penguasa, namun rakyat menentukan modus atau
bentuknya yang tetap dan bahwa rakyat pula yang memberikan kepada seseorang
atau segolongan orang exercitum dari pada kekuasaan itu. Karenanya,
teori Thomas Aquinas ini bersifat monarcho-demokratis yaitu bahwa di
dalam ajaran itu tedapat unsur-unsur yang monarchistis di samping
unsur-unsur yang demokratis.
Jika doktrin ketuhanaan itu pada abad
pertengahan masih bersifat monarcho –demokratis dalam abad-abad ke-16
dan ke-17 doktrin itu bersifat monarchistis semata.dengan doktrin semacam itu
diusahakan agar kekuasaan raja mendapatkan sifatnya yang suci, sehingga
pelanggaran terhadap kekuasaan raja merupakan pelanggaran terhadap Tuhan. Raja
dianggap sebagai wakil Tuhan, bayangan Tuhan dan letnan Tuhan di dunia atau
dikenal dengan istilah “La Roi e` est l `image de Dieu”.
3. Teori
kekuatan
Teori kekuatan secara sederhana dapat diartikan bahwa negara yang
pertama adalah hasil dominasi dari kelompok yang kuat terhadap kelompok yang
lemah. Negara berbentuk dengan penaklukan dan pendudukan. Dengan penaklukan dan
pendudukan dari suatu kelompok etnis yang lebih kuat atas kelompok etnis yang
lebih lemah, dimulailah proses pembentukan negara. Negara merupakan resultante
positif dari sengketa dan penaklukan. Dalam Teori kekuatan, faktor kekuatanlah
yang dianggap sebagai faktor tunggal yang menimbulkan negara. Negara dilahirkan
karena pertarungan kekuatan dan yang keluar sebagai pemenang adalah pembentuk
negara itu. Dalam teori ini pula kekuatan membuat hukum (might makes right).
Kekuatan adalah pembenaranya dan raison d`etre-nya adalah negara.
Doktrin kekuatan merupakan hasil analisa anthropo-sosiologis dari
pertumbuhan suku-suku bangsa dimasa lampau, terutama suku-suku bangsa yang
bertentangga terus-menerus berada dalam keadaan permusuhan dan pertikaian.
Semula kelompok etnis yang ditaklukan itu juga dimusnahkan, tetapi lambat laun
penakluk mempertahankan kelompok yang ditaklukan itu dan itulah menandakan saat
lahirnya negara.
4. Teori
organis
Konsepsi organis tentang hakikat dan asal
mula negara adalah suatu konsep biologis yang melukiskan negara dengan
istilah-istilah ilmu alam. Negara dianggap atau disamakan dengan makhluk hidup,
manusia atau binatang. Individu yang merupakan komponen-komponen negara
dianggap sebagai sel-sel dari makhluk hidup tersbut. Kehidupan korporal dari
negara dapat disamakan sebagai tulang belulang manusia, undang-undang sebagai
urat syaraf, raja (kaisar) sebagai kepala dan para individu sebagai daging
makhluk hidup itu. Fisiologi negara sama dengan fisiologi makhluk hidup,
terutama dalam konteks kelahiran, pertumbuhan, perkembangan dan kematiannya.
Doktrin organis dari segi isinya dapat digolongkan ke dalam teori-teori
organisme moral, organisme psikis, organisme biologis dan organisme sosial.
Negara sebagai suatu organisme moral
bersifat metafisis-idealistis dan dikemukakan terutama oleh tokoh-tokoh idealis
Jerman seperti Fichte, Scheling dan Hegel. Paham organisme moral dari Fichte
merupakan fase peralihan antara ajaran kontrak sosial yang mekanistik ke
konsepsi organis itu. Fitche melihat negara sebagai suatu “naturproduksi” atau
suatu kesatuan organis yang meliputi semua warga negara sebagai bagian esensial
dari kesatuan organis itu. Negara tidak dibuat oleh manusia, tetapi ia
merupakan suatu pribadi moral yang merupakan akibat dari pada kodrat manusia
sebagai makhluk moral. Penyempurnaan manusia sebagai organisme moral dapat
ditemukan dalam tulisan Hegel, yang menganggap negara sebagai penjelmaan
ekstern dari semangat moral individu. Negara dipandangnya sebagai organisme
dengan kepribadian yang termuia.
Negara sebagai organisme psikis adalah
dalam bentuk peralihan dari teori-teori organisme moral yang bersifat
metafisis-idealistis ke teori organisme yang bersifat bio-psikologis. Teori
organisme psikis ditandai oleh tinjauan-tinjauannya yang menitikberatkan pada
segi psikologis negara. Negara dilukiskan sebagai makhluk hidup yang memiliki
atribut-atribut kepribadian rohani sebagai manusia (human mental personality).
Pertumbuhan dan perkembangan negara dapat dipersamakan dengan perkembangan
intelektual dari individu.
Konsep organisme biologis timbul sebagai
salah satu manifestasi dari pertumbuhan ilmu-ilmu biologi yang muncul pada abad
ke-19. Negara diselidiki dengan menggunakan metode-metode dan
penggolongan-penggolongan ilmu biologi itu, karena antara negara dan makhluk
hidup terdapat persamaan-persamaan dalam anatomi, fisiologi dan patologinya.
Jadi asla mula, perkembangan, struktur dan aktifitas negara diselidiki
berdasarkan pada kelahiran, struktur dan fungsi-fungsi organisme biologis.
Negara sebagai oranisme sosial. Jika
doktrin organisme biologis mendapatkan sokongan dari pertumbuhan ilmu-ilmu
biologi, doktrin negara sebagai organisme sosial lahir sejalan dengan timbulnya
ilmu baru tentang masyarakat, yaitu sosiologi. Ajaran negara sebagai organisme
sosial terkait erat hubungannya dengan ajaran organis dari masyarakat dan
persekutuan-persekutuan lainnya. Masyarakat dipandang sebagai suatu keseluruhan
yang bersifat organis. Negara sebagai slaah satu bentuk perkelompokan
sosialjuga bersifat organis.
5. Teori
historis.
Teori historis atau teori evolusionistis (gradualistic theory)
merupakan teori yang menyatakan bahwa lembaga-lembaga sosial tidak dibuat,
tetapi tumbuh secara evolusioner sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan manusia.
Sebagai lembaga sosial yang diperuntukan guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan
manusia, maka lembaga-lembaga itu tidak luput dari pengaruh tempat, waktu dan
tuntutan-tuntutan zaman.
Teori historis diperkuat dan telah dibenarkan oleh penyelidikan
historis dan etnologis-antropologis dari lembaga-lembaga sosial bangsa-bangsa
primitif di benua Asia, Afrika, Australia dan Amerika. Perlu ditambahkan bahwa
pada saat ini, teori historislah yang umum diterima oleh sarjana-sarjana ilmu
politik sebagai teori yang paling mendekati kebenaran tentang asal mula negara.
Sekalipun teori historis pada umumnya mencapai persesuaian paham
mengenai pertumbuhan evolusionistis dari negara, namun dalam beberapa hal masih
juga terdapat perbedaan pendapat, misalnya, apakah yang mendahului negara itu
keluarga dan suku yang didasarkan atas sistem keibuan? Serta bagaimanakah
peranan faktor-faktor kekeluargaan, agama, dan lain-lain dalam pembentukan
negara? Dalam konteks seperti ini teori historis menemukan kesesuaian belum
paham.[8]
6. Teori
Patriarkal dan Matriarkal
Menurut teori ini, keluarga sebagai
kelompok patriarkal adalah kesatuan sosial yang paling utama dalam masyarakat
primitif dan ayahlah yang berkuasa dalam keluarga tersebut serta garis
keturunan ditarik dari pihak ayah. Kemudian keluarga tersebut berkembang biak
dan terjadilah beberapa keluarga yang seluruhnya dipimpin oleh kepala (ayah)
keluarga induk. Lambat laun keluarga-keluarga tersebut kemudian membentuk
kesatuan etnis yang besar dan terjadilah suku patriarkal. Sedangkan matriarkal
adalah apabila berlangsung pada kelompok suku yang menarik garis keturunannya
dari pihak ibu.[9]
7. Teori
Daluarsa
Teori daluarsa adalah teori yang
menganggap bahwa negara dikuasai oleh raja karena faktor kebiasaan. Raja
beserta organisasinya (negara kerajaan) timbul karena adanya milik yang sudah
lama dan kemudian melahirkan hak milik, jadi raja bertahta karena hak milik itu
yang didasarkan atas hukum kebiasaan (Baik diterima maupun ditolak oleh
rakyat).
8. Teori
Alamiah
Menurut
teori ini negara merupakan ciptaan alam. Teori ini pertama kali dikemukakan
oleh Aristoteles yang menyatakan bahwa manusia adalah zoon politicon (Makhluk
politik), dan dengan kodrat manusia tersebut maka kemudian manusia ditakdirkan
untuk hidup bernegara.
9. Teori
Idealistis
Teori ini bersifat filosofis, karena
merupakan renungan-renungan tentang negara dan memikirkan bagaimana negara itu
seharusnya ada. Negara sebagai kesatuan yang mistis, yang bersifat
supranatural, namun memiliki hakekat sendiri ayng terlepas dari bebagai
komponen.[10]
DAFTAR PUSTAKA
Budiarjo,
Miriam, Dasar – Dasar
Ilmu Politik, (Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005),
Cet. XXVII
Isywara, F, Pengantar
Ilmu Politik, (Bandung: Bina Cipta, 1982)
Rosyada, Dede, dkk Pendidikan Kewargaan (Civic
Education): Demokrasi, HAM dan Masyarakat
Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2005), cet.
III, hal. 48-49
Suhelmi, Ahmad, Pemikiran Poltik Barat:Kajian sejarah
perkembangan negara, masyarakat dan
Kekuasaan (jakarta,(PT Gramedia Pustaka
Utama, 2007), cet. III
[1] Miriam Budiarjo, Dasar –
Dasar Ilmu Politik,
(Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2005), Cet. XXVII,
hal. 38
[2] Ibid, hal 39-40
[3] Dede Rosyada dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education):
Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif
Hidayatullah, 2005), cet. III, hal. 48-49
[4] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Poltik Barat:Kajian sejarah perkembangan
negara, masyarakat dan Kekuasaan (jakarta,(PT Gramedia Pustaka Utama, 2007),
cet. III, hal 174-175
[5] Op. Cit. hal 49-51
[6] Op. cit, hal 197-198
[7] Dede Rosyada dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education)...,
hal. 51-52
[8] Ibid, hal. 155-158
[9] F, Isywara, Pengantar Ilmu Politik,
(Bandung: Bina Cipta, 1982), hal. 154
[10] Ibid, hal. 158-159
kunjungan gan .,.
ReplyDeleteMenjaga kepercayaan orang lain lebih penting daripada membangunnya.,.
di tunggu kunjungan balik.na gan.,.
Terima kasih sempatnya menulis Teori dan Sejarah Negara semoga menjadi tambahan pengetahuan kita bersama.
ReplyDelete