Mengambil Hikmah Dari Kisah Nabi Ibrahim Dan Ismail As (2) *)
Kisah Nabi
Ibrahim sebagaimana telah disampaikan pada edisi yang lalu mestinya dapat
dijadikan sebagai dasar untuk beribadah kepada Allah dengan totalitas serta
mampu memuliakan sesama manusia dan tidak mengorbankan manusia yang lainnya. Selain
itu, pelajaran lain yang bisa kita ambil dari kisah Nabi Ibrahim sebagaimana
terkandung di dalam ayat al-quran surat As-Shaffat (37), ayat 102:
102. Maka
tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim,
Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai
bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan
mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".
Alangkah
demokratisnya seorang Nabi Ibrahim selaku bapak yang meminta pendapat anaknya (Nabi
Ismail), walaupun yang ditawarkan kepada anaknya itu adalah perintah Allah. Ada dua hal yang kita bisa pelajari dari ayat
ini. Pertama, betapapun pengorbanan
ini perintah Allah, tetapi sikap Nabi Ibrahim tidak arogan, karena ini
menyangkut hidup anaknya, maka menjadi sebuah keharusan adanya komunikasi dan
dialog sehingga tercapai kebaikan bersama, bisa jadi menurut bapaknya baik
belum tentu demikian menurut anaknya, begitu pun sebaliknya. Kedua, Nabi Ibrahim selaku seorang bapak
ingin menguji keimanan anaknya yang sudah ditempa sedemikian lama oleh orang
tuanya dengan nilai-nilai tauhid, sejauh mana penilaian anaknya ini terhadap
mimpi ayahnya yang juga seorang utusan Allah.
Ternyata sikap ayah yang bijak
dan demokratis itu mendapat respon positif dan jawaban yang sangat menakjubkan,
coba simak apa yang diucapkan dalamnya, :
“Wahai
ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan oleh Allah, Insya Allah
aku termasuk orang yang sabar”.
Tentu ucapan
seperti ini tidaklah mungkin keluar dari mulut seorang remaja biasa yang tidak
dapat memahami hakikat iman yang dalam dan kebesaran Allah yang memerintahkan
penyembelihan ini. Sedemikan pasrahnya Nabi Ismail mengorbankan jiwanya hanya
karena mimpi ayahnya. Sekali lagi, kalau bukan karena keyakinan yang dalam dan
iman yang kuat tidaklah ia akan mengucapkan demikian. Tentunya patut kita
renungkan mengapa sedemikian beraninya anak tersebut bersedia untuk
dikorbankan.
Sikap Nabi
Ismail ini disamping karena mendapat pendidikan dari bapaknya yang seorang
Utusan Allah, juga karena peran seorang ibu, dialah Siti Hajar ibunda Nabi
Ismail yang seorang budak, sederhana, tabah, taat kepada suaminya dan memahami
betul arti seorang ibu rumah tangga, memahami betul tentang masa depan anaknya,
membantu peran suaminya sebagai Rasul, ketulusannya mendidik anak sehingga
ditangannya lahir seorang putera seperti Ismail sebagai remaja yang kokoh
imannya, patuh kepada kedua orang tuanya. Dan rela mengorbankan dirinya atas
nama kepatuhan terhadap perintah Robb nya.
Di bulan
Dzulhiijah ini, hendaknya kita bisa memetik semangat yang terkandung didalamnya,
kita mestinya bisa mengambil pelajaran yang bersifat dinamis, tidak hanya berhenti
pada ibadah-ibadah yang bersifat simbolik semata, atau hanya memperkaya horizon
pengalaman beragama secara individual, tetapi juga berlanjut pada dataran
empiris sosial.
Dengan kata
lain, bahwa iedul qurban berimplikasi pada peningkatan kualitas penghayatan
individu terhadap universalisme nilai-nilai kemanusiaan, dengan demikian
kedudukan agama bukan semata–mata Cultus Privatus yang hanya bisa
dinikmati oleh pribadi saja, sebisa mungkin kita juga menjadikannya sebagai Cultus Publicus yang bisa dirasakan oleh
umat.
Semestinya
ibadah qurban tidak berhenti sekedar menyembelih hewan qurban lalu membagi-bagikannya
tanpa ada arti yang lain yang lebih berharga dari hal tersebut. Akan tetapi
jauh lebih tepat jika implimentasi nilai-nilai ibadah qurban diwujudkan dalam
bentuk kesetiakawanan sosial seperti dalam bentuk material menyediakan
fasilitas ekonomi bagi korban bencana, penyediaan lapangan pekerjaan bagi
pengangguran dan korban PHK dan lain sebagainya.
Sesuatu yang lebih penting lagi adalah
meningkatkan kesejahteraan sosial bagi masyarakat luas. Momentum Iedul Adha
bukan sebaliknya dengan mengorbankan dan mencekik masyarakat dengan beban hidup
yang jauh dari jangkauan dan kemampuan ekonomi masyarakat. Tidak Adanya
keseimbangan antara daya jual dan daya beli masyarakat akan menimbulkan
radikalisme yang berujung pada semakin menumbuh suburkan sifat-sifat
kebinatangan yang ada pada diri kita, padahal di momentum iedul adha ini semestinya
hal itu harus kita kikis habis.
Oleh karena itu sudah seharusnya bagi
para elit ekonomi untuk bersedia mengorbankan ambisinya untuk tidak memonopoli
aset-aset ekonomi dan bersedia untuk membagi rasa dan jatah dengan pengusaha
menengah dan kecil, serta kepada orang-orang yang belum mempunyai akses ekonomi
sama sekali karena tanpa pengorbanan tersebut mustahil terjadinya harmonisasi
diantara elemen bangsa.
Selanjutnya bagi kalangan elit
politik untuk tidak hanya mengumbar janji dengan dan berdebat kusir tentang
aturan main yang hanya menguntungkan kelompoknya tanpa memikirkan kepentingan
bangsa bersama. Disamping juga tidak menggunakan agama sebagai komoditas
politik, demikian kalangan agama juga jangan lagi mau dijadikan kuda lumping yang diperalat dan disuruh
mengamuk, seruduk sana dan sini yang berakibat jatuhnya martabat agama sampai
titik yang kita tidak harapkan. Agama harus hadir dengan jati dirinya yang
damai penuh kasih sayang sehingga masyarakat pun merasakan kedamaian pada
agama.
Dari hikmah ini dapat diambil
beberapa kesimpulan diantaranya adalah: pertama,
cinta kepada Allah haruslah didahulukan dari yang lainnya. Kedua, Kepatuhan yang murni terhadap
perintah Allah tanpa keraguan adalah bukti keimanan mendalam. Ketiga, Allah tidak membutuhkan kepada
sesajian, inti pengorbanan pada ketaqwaannya yang dapat mendekatkan diri kepada
Allah, Keempat, Orang bijak adalah
slalu mendialogkan setap perkara yang menyangkut hidup masa depan anaknya.
Walaupun orang tua berhak menentukan mengatur kehidupan seorang anak.
Adapun hikmah yang kelima adalah peran orang tua dalam
pendidikan khususnya seorang ibu sangat menentukan terhadap keimanan putra/putrinya,
keenam, syariat qurban juga
mengharamkan untuk mengorbankan manusia, karena ia adalah makhluk Allah yang sangat
mulia, hak-hak manusia haruslah kita berikan, hak sandang, pangan, papan
sekiranya pengorbanan manusia untuk Allah saja dilarang apalagi untuk
kepentingan duniawi ayng sifatnya sesaat dan yang terakhir adalah syariat qurban juga menyiratkan kita harus membunuh
sifat-sifat binatang yang ada pada kita, seperti penindasan, keserakahan dan
sebagainya.
*)Disampaikan
dalam Khutbah Idul Adha di Masjid Al-Barokah Pasar Lontar Kota Jakarta Utara pada 1 September
2017. Editor: Aiz Luthfi
**) Ketua Tanfidziyah PCNU Subang
Comments
Post a Comment