“Incumbent” Lurah Santri
“brag.brag” suara pintu
kobong tersebut memecah kesunyian disaat sang fajar tengah bersiap melintasi
dusun Pungangan. Tidak ada yang istimewa di pagi buta tersebut karena seperti hari-hari sebelumnya, aktiftas
shalat subuh berjamaah di Mushola yang kemudian dilanjutkan dengan mengaji
sorogan kitab kuning di ponpes Al-karimiyyah berjalan roda sistem yang mengitari
lembaga tersebut.
“wah... sendal gua mana nih?” pertanyaan
tersebut hampir terdengar setiap hari, tentu saja suara tersebut keluar dari mulut santri yang berbeda. Rupanya
selalu saja ada salah satu santri yang keluar dari mushola Al-Mukhtar dengan memakai
sendal seketemunya dan kemudian ter-sistemkan sehingga teman-temannya
yang lain pun memakai sendal yang ada di hadapannya.
Hari itu adalah hari
minggu, para santri pun berleha-leha sejenak karena di hari tersebut mereka
tidak perlu berangkat ke MI, MTs dan MA Al-Huda, tempat mereka menjalani
pendidikan formal.
“Bangun!Bangun!”
teriak Muslim yang membawa “tongkat sakti” yang ia dapatkan ketika disuruh
mencari kayu bakar ke kebun kyai, ia adalah santri senior yang belakang
diketahui menjadi seorang “incumbent” lurah santri.
“iya kang...” hampir
bersamaan para santri yang sedang tiduran menjawab.
“sekarang ayo kita
bersihkan aula...” lanjut muslim memerintah.
“siap kang....” semua
santri menjawab.
“alhamdulillah....sekarang
aula sudah bersih, ayo semuanya mandi, sejam lagi pesta demokrasi di pondok
kita akan segara dilaksanakan” ujar muslim sambil melangkah menuju kobongnya.
Satu jam kemudian,
semua santri pun berkumpul di aula, tidak ada yang mewah dalam acara pesta
demokrasi tingkat pesantren Al-Karimiyyah tersebut, tidak ada spanduk atau
baligho yang memasang poto para kandidat, tidak ada tim sukses yang berjualan
visi misi para calon, bahkan tidak ada serangan fajar yang semestinya dilakukan
tadi pagi, semua berjalan dengan sederhana.
Acara pun dimulai dan
berjalan dengan lancar, setelah Kyai memberikan sambutannya, pesta demokrasi
pun siap untuk dilaksanakan. Namun sebelumnya dijaring pemilihan balon (bakal
calon), dan nama-nama yang muncul adalah Sodik, Dedi, dan tentu saja Muslim,
sekali lagi, Muslim adalah “incumbent” lurah santri.
Ketiga calon lurah
santri tersebut kemudian dipersilahkan memberikan sambutannya, atau istilah
kerennya, dibeberkan visi misinya jika nanti terplih menjadi lurah santri.
Pertama adalah Sodik,
siswa kelas 2 MA tersebut maju dengan memakai seragam santri yang menurut
prediksi deki, teman sekobongnya, sepertinya seragam tersebut belum di cuci
selama satu minggu, karena deki tidak mencium aroma wangi dan selalu melihat
pakian tersebut tergantung di pintu kobong.
“Jika saya terpilih
menjadi lurah santri, saya akan menghapus senioritas, semuanya sama, saya dan
teman-teman disini dalam pandangan saya sama, tidak ada yang berbeda” demikan
kurang lebih inti “kampanye” sodik. Tepuk tangan hadirin pun bergemuruh
disertai dengan teriakan “Hidup Sodik! hidup Sodik!”
Selanjutnya Dedi,
siswa kelas 3 MA yang terlihat perfectionis, memakai pakean seragam yang wangi
dan sudah disiapkan sejak hari kemarin, menurut Mustakim, teman sekampungnya,
Kakaknya Dedi adalah seorang Pemimpin mahasiswa di kampusnya di Jakarta sana.
“Jika saya terpilih
menjadi pemimpin kalian semua disini, yang paling pertama sekali akan saya
lakukan adalah mengganti istilah lurah dengan presiden, jadi tidak ada lagi
istilah lurah santri disini, yang ada adalah presiden santri, kenapa?karena
jabatan lurah itu adalah kecil, bahkan paling kecil sebelum RW dan RT. lihat di
lembaga pendidikan di sana. Lihat! Tidak ada istilah gubernur, bupati, camat,
apalagi lurah. Tidak ada!yang ada adalah Presiden...” demikian pidato Dedi yang
cukup menggebu-gebu tersebut.
Terakhir adalah
Muslim, teman sebangku Dedi di sekolah, sekali lagi (mungkin BUKAN untuk yang
terakhir kalinya) dia adalah “incumbent” lurah santri. Semua santri sudah
mengetahui bahwa orang tua muslim adalah sahabat karib pak kyai.
“jika saya kembali
terpilih menjadi lurah santri disini, saya tidak akan menghapus senioritas,
karena hal ini penting untuk menjaga kedisiplinan kita semua, kemudian saya
akan tetap memakai istilah lurah, karena hal ini sebagai bentuk tabarukkan kepada
para pendahulu-pendahulu kita semua yang pernah mondok disini dan sekaligus
menjaga tradisi kepesantrenan”
Rupanya “kampanye”
Muslim hanya sebatas itu, ia melupakan kampanye yang ia siapkan sejak tadi
malam. Muslim hanya ingin menyampaikan ketidaksepakatnnya atas rencana-rencana
“rival politiknya”,
Prosesi pemilihan pun
dilaksanakan, dan Muslim berhasil meraup suara cukup luar biasa, yakni 89 suara
yang kemudian di susul Sodik dengan 10 suara dan dedi yang hanya mendapat 2
suara. Akhirnya “incumbent” lurah santri tersebut memegang jabatan untuk yang
kedua kalinya, berbeda dengan “incumbent” pada jabatan publik lainnya,
incumbent yang satu ini tidak melakukan intervensi kepada “rakyat”nya juga
tidak menggunakan kas lembaga untuk kepentingannya demi mempertahankan jabatan
yang dipegangnya.
Comments
Post a Comment