Posmodernisme Epistemologis dan Empirik
Pengertian
Teori sosial post modern mengacu pada cara berpikir yang
berbeda dari teori sosial modern. Dengan demikian, post-modern meliputi periode
historis baru, produk kultural baru, dan tipe baru dalam penyusunan teori
tentang kehidupan sosial. Tentu saja semua ini merupakan sebuah perspektif baru
dan berbeda mengenai peristiwa yang di tahun-tahun belakangan ini, yang tak
lagi dapat dilukiskan dengan istilah “modern”, dan perspektif mengenai
perkembangan baru yang menggantikan realitas modern.
Konsep
pertama, post modern ini terutama tertuju pada keyakinan yang tersebar luas
bahwa era modern telah berakhir dan kita memasuki periode historis baru, post
modernitas. Lemert menyatakan bahwa kelahiran post modernisme dapat dirunut
sekurang-kurangnya secara simbolis kepada:
Kematian
arsitektur modern pada jam 3:32 siang, 15 Juli 1972 saat dihancurkannya proyek
perumahan Pruitt Igoe di St. Louis. Proyek perumahan raksasa di St. Louis ini
melambangkan keyakinan arogan arsitekstur modern bahwa dengan membangun proyek
perumahan public terbesar dan termegah ini arsitek dan perencananya dapat
membasmi kemiskinan dan kesengsaraan manusia. Dengan menghancurkan simbol
gagasan modern ini berarti mengakui kegagalan gagasan modernitas itu sendiri.
Penghancuran
proyek Pruitt-Igoe mencerminkan perbedaan antara pemikir modern dan post-modern
tentang persoalan apakah mungkin ditemukan penyelesaian rasional atas masalah
masyarakat. Contoh lain, perang terhadap kemiskinan yang dicanangkan Lyndon
Johnson tahun 1960-an, adalah khas cara masyarakat modern meyakini bahwa dapat
ditemukan dan diterapkan penyelesaian rasional atas masalah kemiskinan itu. Tak
inginnya pemerintahan Reagan di tahun 1980-an membangun program raksasa untuk
mengatasi masalah kemiskinan, mencerminkan keyakinan masyarakat post-modern
bahwa tak ada jawaban rasional tunggal untuk menanggulangi berbagai macam
masalah. Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa antara pemerintahan
Kennedy dan Johnson dan Reagan, AS bergerak dari masyarakat modern ke
masyarakat post-modern. penghancuran proyek Pruitt-Igoe sebenarnya terjadi
dalam jangka waktu itu.
Konsep
kedua, post-modernisme,
berkaitan dengan dunia kultural dan dapat dinyatakan bahwa produk post-modern
cenderung menggantikan produk modern. Di dunia kesenian, Jameson (1984)
mempertentangkan lukisan Andy Warhol di era post-modern yang menampilkan sosok
Marilyn Monroe hampir tanpa emosi dengan lukisan Munch modern, The Scream.
Di bidang televisi, tayangan Father Knows Best merupakan contoh yang
tepat program televisi modern, sedangkan program Twin Peak dapat
dianggup dianggap sebagai contoh program post-modern. Di bidang film, The
Ten Commandment jelas digolongkan sebagai film modern sedangkan Blade
Runner sebagai karya post-modern.
Konsep ketiga, adalah kemunculan teori sosial post-modern dan perbedaannya dengan teori
sosial modern.
Teori sosial modern mencari landasan universal, ahistoris, dan rasional, untuk
analisisnya dan untuk mengkritik masyarakat. Menurut Marx landasannya adalah umat
manusia sedangkan menurut Habermas,
landasannya adalah nalar komunikatif.
Pemikiran post-modern menolak "landasan ini" dan cenderung menjadi
relativistik, irrasional dan nihilistik. Dengan mengikuti Nietzsche dan Foucault di antaranya, pemikir post modern mempertanyakan landasan
demikian, yakin bahwa landasan itu cenderung memberikan hak istimewa terhadap
kelompok tertentu dan menurunkan derajat sebagian besar yang lainnya,
memberikan kekuasaan pada kelompok tertentu dan membuat kelompok lain tanpa
kekuasaan.
Pemikir post-modern pun menolak gagasan tentang narasi besar atau metanarrative.
Dalam penolakan atas gagasan inilah kita berhadapan dengan salah seorang
pemikir post-modern paling penting, yakni Lyotard. Lyotardlah (1984:xxiii) yang memperkenalkan ilmu
pengetahuan modern dengan sejenis sintesis umum tunggal (atau metadiscourse)
yang dapat kita hubungkan dengan karya teoritisi seperti Marx dan Parsons. Jenis narasi besar yang ia
hubungkan dengan ilmu pengetahuan modern termasuk “dialektika spirit, the
hermeneutics of meaning, emansipasi rasional, atau penciptaan kekayaan”
(Lyotard, 1984:xxiii)
Bila
ilmu modern disamakan Lyotard dengan metanarrative maka ilmu post modern
menolak narasi umum seperti itu. Seperti dinyatakan Lyotard, “Jika
disederhanakan, saya mendefinisikan post-modern sebagai ketidakpercayaan
terhadap metanarratives.” (1984:xxiv). Lebih keras lagi ia mengatakan,
“marilah kita memerangi totalitas...marilah kita menghidupkan perbedaan” (1984:
82). Kenyataannya, post-modernisme
menjadi wadah pertemuan berbagai perspektif teoritis yang berbeda-beda: "Ilmu pengetahuan post-modern bukanlah
semata-mata menjadi alat penguasa; ilmu pengetahuan post-modern memperhalus
kepekaan kita terhadap pandangan yang berbeda dan memperkuat kemampuan kita
untuk bertoleransi atas pendirian yang tak mau dibandingkan” .
Dalam
pengertian ini sosiologi sudah bergerak keluar periode modern, masuk ke dalam
periode post-modern dalam upayanya
mencari formula sintesis yang lebih khusus. Menurut pandangan Fraser dan Nicholson, Lyotard lebih
menyukai narasi tentang modernitas yang lebih sempit, berukuran setempat
ketimbang metanarasi atau narasi besar dari modemitas (1988: 89). Sintesis baru
ini mungkin dapat dilihat sebagai contoh narasi sosiologi yang “kecil” dan
"setempat" yang dimaksud Lyotard
itu.
Sementara
Lyotard menolak narasi besar
secara umum Baudrillard menolak gagasan
narasi besar dalam sosiologi. Di satu sisi Baudrillard menolak seluruh gagasan tentang kehidupan sosial.
Dengan menolak gagasan tentang kehidupan sosial, menyebabkan ia menolak metanarrative
sosiologi yang dihubungkan dengan modernitas:
...prinsip
pengorganisasian besar, narasi besar tentang kehidupan sosial yang menemukan
dukungan dan pembenarannya dalam gagasan tentang kontrak rasional, masyarakat
sipil, kemajuan, kekuasaan, produksi yang kesemuanya ini menunjuk pada sesuatu
yang pernah ada tetapi kini sudah tak ada. Era perspektif tentang kehidupan
sosial (yang berkaitan erat dengan periode yang terkenal sebagai
modernitas)...sudah berlalu (Bogard, 1990:10).
Jadi,
post-modern menolak metanarrative umumnya dan menolak narasi besar dalam
sosiologi khususnya.
Teori sosial post-modern untuk sebagian besar bukan
produk sosiolog (Lyotard, Derrida, ]ameson bukan sosiolog).
Di tahun belakangan ini sejumlah sosiolog mulai berkarya menurut perspektif
post-modern, dan post-modernisme hingga taraf tertentu dapat dipandang sebagai
bagian dari tradisi sosiologi klasik. Ambil contohnya penafsiran ulang karya Simmel berjudul Post-modernized Simmel. Weinstein
dan Weinstein mengakui adanya alasan kuat untuk menyatakan bahwa Simmel sebagai
seorang modernis liberal, mengemukakan narasi besar tentang kecenderungan
sejarah menuju dominasi kultur objektif menuju "tragedi kultur". Tetapi,
mereka pun menyatakan adanya alasan kuat untuk mengakui pemikiran Simmel
sebagai post-modern.
Dengan
demikian, mereka mengakui bahwa kedua
alternatif mempunyai validitas dan pemikiran modern tak berarti lebih benar
daripada post-modern atau sebaliknya. Mereka selanjutnya menyatakan,
“menurut kami ‘modernisme’ dan ‘postmodernisme’ bukanlah pilihan eksklusif,
tetapi dua bidang yang batasnya tak bersambungan satu sama lain” (1993:21).
Mereka pun menyadari bahwa mereka dapat menafsir ulang pemikiran Simmel sesuai
dengan pemikiran modern tetapi menafsirkannya menurut post-modernis jauh lebih
bermanfaat. Karenanya mereka mengekspresikan pandangan yang sangat post-modern:
"Tidak ada Simmel esensial, hanya Simmel-Simmel yang berbeda-beda yang
dibaca melalui beragam pandangan di dalam formasi diskursus kontemporer".
Alasan
Weinstein dan Weinstein menyatakan Simmel sebagai pemikir postmodern karena Simmel menentang totalisasi dan ia
cenderung berpandang detotalisasi modernitas. Ia sebenarnya seorang penulis esai, pencerita sejarah,
meski ia menyusun teori “tragedi kultur”. Ia lebih banyak menjelaskan berbagai
masalah khusus ketimbang menerangkan totalitas kehidupan sosial.
Simmel
juga dideskripsikan sebagai seorang “pemalas”. Lebih khusus lagi, dilukiskan
sebagai sosiolog pemalas yang membuang-buang waktunya untuk menganalisis
sejumlah besar fenomena sosial. Ia tertarik pada berbagai fenomena sosial itu
karena kualitas estetikanya;
seluruh fenomena sosial yang ada itu dianalisisnya untuk "merangsang,
mengherankan, menyenangkan, atau untuk kesenangan dirinya" (Weinstein dan
Weinstein, 1993:60). Simmel dideskripsikan membuang-buang kehidupan
intelektualnya dengan mengembara dari menjelaskan satu fenomena sosial ke
fenomena sosial lain karena dorongan keinginannya sendiri. Pendekatan ini
menyebabkan Simmel terhindar dari pandangan totalitas terhadap kehidupan dan
memusatkan perhatian terhadap sejumlah unsur kehidupan itu.
Simmel
pun dilukiskan sebagai “tukang intelektual” (bricoleur), yang
mengerjakan sesuatu berdasarkan bahan yang tersedia padanya. Dihadapannya
tersedia berbagai fragmen kehidupan sosial atau "serpihan kultur
objektif". Selaku tukang ahli, Simmel merangkum gagasan apapun yang ia
temukan untuk menjelaskan dunia sosial.
Kiranya
tak perlu membahas terlalu rinci interpretasi Weinstein dan Weinstein tentang
pemikiran post-modern Simmel ini. Yang jelas, interpretasi seperti itu sama
masuk akalnya dengan pandangan modern. Akan jauh lebih sukar menemukan
pandangan post-modern yang serupa dari teoritisi klasik utama lainnya, walaupun
orang tentu akan dapat menemukan aspek-aspek pemikiran mereka yang bersesuaian
dengan post-modernisme. Begitulah, seperti dijelaskan Seidman (1991), sebagian
besar teori sosiologi adalah buatan teoritisi modern, tetapi ada isyarat post-modern
dalam kebanyakan pemikiran teoritisi modern itu (lihat juga diskusi tentang
Weber dan post-modernisme dalam Gane, 2002).
Tempat
lain untuk mencari berita tentang post-modernisme adalah di antara kritik atas
teori modern dalam teori sosiologi. Seperti telah ditunjukkan oleh beberapa
pengamat posisi kunci diduduki oleh C.
Wright Mills.
Pertama Mills sebenarnya menggunakan istilah “post-modem” untuk melukiskan
era pasca pencerahan yang kita masuki: "Kita berada di penghujung dari apa
yang disebut abad modern...abad modern digantikan oleh periode post-modern”
Kedua, ia adalah pengkritik keras teori besar (grand theory)
modern dalam sosiologi, terutama seperti yang dipraktikkan oleh Parsons.
Ketiga, Mills menginginkan
sosiologi menghubungkan masalah publik yang besar dengan persoalan pribadi yang
khusus.
Meski
ada isyarat post-modernisme dalam karya Simmel dan Mills (dan teoritisi
lainnya), namun dalam karya mereka itu tak kita temukan teori post modern itu
sendiri. Sebagai contoh Best dan Kellner berpendapat bahwa Mills adalah
"teoritisi modern yang membuat generalisasi sosiologi yang luas, meneliti
sosiologi dan sejarah, dan percaya atas kekuatan imajinasi sosiologi untuk
penjelaskan realitas sosial dan untuk mengubah masyarakat” (1991:8).
Berdasarkan latar belakang yang umum ini, kita akan membahas teori sosial post
modern secara lebih kongkret.
TOKOH TEORI-TEORI POSTMODERNISME
Menurut
Turner (1998), teori sosiologi tentang psotmodernisme dapat dipilah menjadi
dua, yakni yang lebih melihat dari akibat perubahan berbagai aspek ekonomi dan
satu lagi dari sisi kultural. Berbeda dengan ini, Ritzer melabeli dengan yang
moderat dan radikal. Frederic Jameson yang melihat dari perubahan setruktur
ekonomi digolongkan sebagai moderat, sedangkan yang radikal adalah Jean
Baudrillard yang dalam Turner digolongkan sebagai teoritis kultural.
Fredric
Jameson
Fredric
Jameson melihat masih ada kontinyuitas antara modernitas dengan postmodernitas.
Ada persambungan antara keduanya. Dunia kapitalisme saat ini memasuki masa
akhirnya, meskipun memang telah menumbuhkan logika kultural baru, yakni
postmodernisme. Meskipun kulturalnya berubah namun struktur ekonomi yang
terjadi masih dengan basis pola yang lama. Ia melihat sekaligus sisi positif
dan negatif dari postmodernitas.
Ia
menemukan ada tiga tahapan dalam kapitalisme yang dimulai dengan kapitalisme
pasar, diikuti dengan lahirnya jaringan kapitalis global, dan akhirnya
kapitalisme akhir dengan semakin bebasnya pergerakan modal di seluruh dunia.
Perubahan dalam struktur ekonomi ini memperngaruhi pula pada bentuk-bentuk
kultural. Satu ciri kultural baru adalah elemen yang lebih heterogen. Tidak
terjadi dominansi satu kultur tertentu, namun ada banyak kekuatan yang saling
hadir secara bersamaan.
Jameson
menunjukkan suatu upaya besar untuk merevitalisasi Marxisme dengan cara
membangun sintesis antara wacana posmodernisme dan Marxisme. Ia melihat
posmodernisme sebagai totalitas sosial, budaya, ekonomi, politik dan sejarah
yang menandai gejala-gejala sosial mutakhir sejak 1950-an seiring dengan
munculnya struktur masyarakat baru dengan nama beragam.
Sebaliknya, Jean Baudrillard berpandangan lebih ekstrem. Ia mengusulkan pertukaran simbolis sebagai pengganti pertukaran ekonomi. Dalam pertukaran simbolis, kedua pihak berperan sama kuat. Setiap orang melakukan dua proses timbal balik sekaligus. Gagasan pertukaran simbolis ini berbeda sekali dengan pertukaran dalam kapitalisme. Masyarakat tidak lagi hanya didominiasi oleh produksi, namun oleh berbagai kekuatan lain yakni media, informasi, hiburan, ilmu pengetahuan, dan lain-lain. Baudrillard meyakini telah terjadi peralihan dari masyarakat yang didominasi oleh ”mode produksi” ke ”kode produksi”.
Sebaliknya, Jean Baudrillard berpandangan lebih ekstrem. Ia mengusulkan pertukaran simbolis sebagai pengganti pertukaran ekonomi. Dalam pertukaran simbolis, kedua pihak berperan sama kuat. Setiap orang melakukan dua proses timbal balik sekaligus. Gagasan pertukaran simbolis ini berbeda sekali dengan pertukaran dalam kapitalisme. Masyarakat tidak lagi hanya didominiasi oleh produksi, namun oleh berbagai kekuatan lain yakni media, informasi, hiburan, ilmu pengetahuan, dan lain-lain. Baudrillard meyakini telah terjadi peralihan dari masyarakat yang didominasi oleh ”mode produksi” ke ”kode produksi”.
Timbul
pertanyaan penting, apakah teori postmodern merupakan teori sosial? Pertanyaan
ini timbul karena kalangan postmodernisme menolak ”penjelasan besar”, padahal
syarat pokok sebuah teori adalah kemampuannya memberi narasi besar untuk
fenomena sosial. Namun, sesuai dengan syarat-syarat sebuah teori, apa yang
ditawarkan Baudrillard menurut Ritzer dapatlah disebut sebagai teori sosiologi.
Satu
teoritisi lain adalah Zygmunt Bauman, yang mempelajari dampak
deinstitusionalisme makna tentang diri yang khaos, random, dan terdiferensiasi.
Ia menyusun sosiologi postmodernisme dari poststruktural Perancis dan teori
kritis Jerman. Ia mengkritik pandangan orang tentang ”pencerahan”. Baginya
pencerahan telah memunculkan alasan legislatif, yakni peningkatan
individualitas, pluralisme dan menolak keraguan dan ketidaktentuan
(uncertainty).
Dalam
masyarakat postmodernisme, katanya, tidak lagi dibutuhkan legitimasi
intelektual dan juga negara. Masyarakat menjadi semakin tergantung kepada
pasar. Basis gaya kehidupan telah beralih ke konsumsi.
Negara
juga tak lagi terlalu membutuhkan intelektual. Namun, postmodernisme masih
melanjutkan beberapa sisi modernisme yakni nilai-nilai pilihan, diversitas,
kritis dan refleksif. Dalam postmodernisme, dianut paham pluralisme
pengetahuan. Dalam masyarakat postmodern, sosiologi tidak lagi dibutuhkan untuk
legislasi sosial order dan norma kultural. Sosiologi baru harus mampu
memfasilitasi pemahaman bersama dan harus pula lebih interpretatif.
Jean
Baudrillard
Jean
Baudrillard adalah sosiolog teori Postmodern paling radikal dan menimbulkan
banyak amarah dalam genre ini . Jean
Baudrillard melihat masyarakat kontemporer atau masyarakat saat ini tidak lagi
didominasi oleh produksi, namun oleh media, model sibenertika dan sistem
pengendali informasi hiburan dan industri pengetahuan telah dan lain
sebagainya. Dapat dikatakan masyarakat telah bergeser dari masyarakat yang
didominasi oleh mode produksi menuju masyarakat yang dikontrol oleh Kode
Produksi. Tujuannya telah beralih dari eksploitasi dan laba ke arah dominasi
oleh tanda dan sistem yang menghasilkannya.
Cara
lain yang ditempuh Baudrillard, menggambarkan dunia postmodern bahwa dunia ini
ditandai oleh simulasi, ketika pemisahan antara tanda dengan realitas mengalami
implosi, sulit memperkirakan hal – hal yang riil dari hal – hal yang
menyimulasikan hal – hal riil.
Baudrillard menggambarkan dunia ini sebagai Hipperealitas. Sebagai contoh, media mulai tidak lagi menjadi cermin realitas melainkan menjadi realitas atau bahkan lebih riil dari realitas .
Baudrillard menggambarkan dunia ini sebagai Hipperealitas. Sebagai contoh, media mulai tidak lagi menjadi cermin realitas melainkan menjadi realitas atau bahkan lebih riil dari realitas .
Bagi
Baudrillard , tidak ada tempat yang lebih hipperealistu selain padang pasir,
dan padang pasir ini adalah amerika, ini, tentunya hanya sebuah metafora yang
digunakan Baudrillard untuk menerangkan aspek – aspek halusinasi , khayalidan
fatamorgana yang telah menguasai kebudayaan Amerika. Di tengah pasir, seseorang
dapat menyaksikan citra – citra fatamorgana — citra – citra yang segera
menghilang tatkala seseorang mendatanginya secara lebih dekat. Hal yang sama
dapat dijumpai tatkala seseorang berada di depan televisi, film 3D, video,
video game dan kini virtual reality lewat computer. Totalitas hidup seseorang (
kegembiraan, kesedihan, kesukaan, keberanian dan sebagainya) secara tak sadar terperangkap
di dalam dunia heperealisme media, namun apabila seseorang tersebut mencoba
melihat media dengan ksadaran, maka ia akan menyadari bahwa apa yang ia
saksikan tak lebih dari sebuah fantasi, fiksi, atau fatamorgana sebuah kesemuan
.
Kalimat
di atas dapat diuraikan bahwa Media, menjadikan manusia tenggelam dalam
hipperealitas. Manusia mengalami sesuatu yang melebihi realitas dan semakin
lama kehilangan realitas atau kehidupan sebenarnya yang riil. Contohnya ketika
seseorang menonton sinetron atau drama di televisi. Ia tidak berinteraksi
dengan siapapun, tetapi ia dapat menghayati isi cerita dalam sinetron tersebut
misalnya ia menangis ketika cerita itu menyedihkan atau tertawa ketika
ceritanya lucu seperti halnya ia menangis dan tertawa di dunia nyata atau
realitas.
Baudrillard
juga mengungkapkan bahwa realitas dan hipperealitas sulit dibedakan dan bahkan
hipperealitas dapat melebihi realitas sebenarnya. Contohnya adalah ketika
seorang anak bermain permainan ( game ) jenis First Person Shooter yaitu model
permainan perang dengan tampilan tangan dan senjata perang, istilahnya game
tembak menembak. Di kehidupan sebenarnya anak tersebut tidak pernah mengikuti
perang dan membunuh orang bahkan anak tersebut tidak mampu mengoperasikan
senjata, tetapi dalam game itu, hanya dengan memencet beberapa tombol ia bisa
menembak, mengisi peluru, menggunakan strategi berperang dan lain – lain sampai
pada membunuh musuh yang dianggap sebagai suatu kesenangan. Tanpa disadari anak
tersebut tenggelam dalam kehidupan yang tidak nyata karena ketagihan dalam
fantasi dan imajinasi yang disajikan game tersebut dan lambat laun mulai
kehilangan kehidupan nyata atau riil dimana ia biasa bermain dengan teman –
temannya.
KRITIK
Perdebatan tentang
modernisme dan postmodernisme seperti tiada hentinya. Para pendukungnya sering
mengeluarkan puji-pujian, sedangkan lawannya biasanya terjebak dalam apa
yang bisa dideskripsikan sebagai kemarahan.
Ada yang menganggap postmodernism sebagai “kegilaan”
atau merupakan “langit hitam omong kosong yang besar”. Bahkan ada yang
mengatakan dengan adanya diversitas atas teori-teori sosial postmodern,
kegunaan dan validtas teori tersebut dipertanyakan.
Teori
postmodern dikritik karena kegagalannya berbuat sesuai dengan standard ilmiah
modern, standard yang dihindari oleh post-modern. Dalam bahasa
yang lebih formal, segala sesuatu yang dikatakan postmodernis oleh para
penganut modernisme dianggap salah, idenya tidak dapat dibuktikan, khususnya
dengan riset ilmiah. Kritik ini sendiri menggunakan asumsi model saintifik,
eksistensi realitas, eksistensi pencarian, dan eksistensi kebenaran. Yang semua
asumsi ini sejak awal memang sudah ditolak postmodernis.
Karena
post-modernis tidak dapat dilihat sebagai suatu tubuh ide-ide saintifik maka
sebagian ilmuwan melihat teori sosial postmodern sebagai ideologi. Jadi
persoalannya bukan benar atau tidak, tetapi percaya atau tidak. Namun harus
diingat orang yang percaya kepada seperangkat ide tidak punya dasar berargumen
bahwa ide-ide mereka lebih baik, atau lebih buruk ketimbang ide lainnya.
Tapi karena tidak dibatasi norma-norma sains, postmodern menjadi bebas
bermain-main dengan berbagai macam ide. Generalisasi luas yang dtawarkan sering
tanpa kualifikasi menjadikan diskursus postmodern sulit diterima orangorang di
luar perspektif itu. Ide-ide postmodern sering kabur dan abstrak, sehingga
sering sulit jika harus dihubungkan dengan dunia sosial. Teoritisi post
modern sering kali melakukan kritik terhadap masyarakat modern, namun
kritik-kritik itu dapat dipertanyakan validitasnya. Yang lebih parah,
teoritisi post modern sering mengkritik masyarakat tetapi kekurangan visi
tentang bagaimana masyarakat itu seharusnya. Bahkan karena kebenaran menurut
postmodern itu tidak tunggal, dan nilai-nilai yang diperjuangkan juga
multikultur, maka postmodern justru sering dipandang tidak memperjuangkan
apapun, melainkan sebagai gerakan nihilisme.
REFERENSI:
Ritzer, George & Goodman, Douglas J, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2011), cet. 7
Comments
Post a Comment