SYARIAT ISLAM
Pendahuluan
Secara etimologis pengertian “syari’at”
adalah jalan atau rute yang ditetapkan oleh agama islam yang harus diacu atau
dirujuk. Sementara pengertian syariat menurut terminologis adalah apa yang
disyari’atkan oleh Allah dalam Al Qur’an dan dicontohkan oleh rasul-Nya
Muhammad dalam hadis dan harus diikuti oleh setiap muslim. Ajaran-ajaran yang
tertuang dalam syari’at itu tidak semata-mata hanya mengenai hubungan manusia
(hamba) dengan tuhannya, akan tetapi juga mencakup hubungan manusia dengan alam
serta manusia dengan manusia. Dengan demikian syai’at mencakup ajaran yang
terkait dengan aqidah (keyakinan/keimanan), akhlak (etika), ibadah (hubungan
manusia dengan tuhannya) serta muamalat (hubungan manusia dengan manusia –
sosial kemasyarakatan dan dengan alam sekitar). Itulah pengertian syariat dalam
arti luas. Dari syari’at itu dikembangkan hukum-hukum yang berlaku dalam
situasi konktrit (fiqh) dengan pendekatan-kendekatan deduksi rasional,
sistematik, sosiologis serta tujuan (kemaslahatan, keadilan maupun kepatuhan
kepada Allah SWT) baik secara perorangan maupun kelompok (ijtima’y).
Fiqh
(syari’at) tidak harus diartikan sebagai himpunan kitab hukum warisan para
ulama terdahulu dalam paket pendapat dari berbagai mazhab yang ditulis sejak
berabad-abad yang lalu yang menganggapnya sebagai hasil yang tidak dapat diubah
lagi. Menurut
Prof. Bustanul Arifin. Ilmu fiqh harus terikat pada tempat dan masa tertentu,
sama halnya dengan ilmu hukum. Tanpa pola pemikiran yang demikian akan tetaplah fiqh
dan masyarakat, fiqh dan hukum (umum) itu hanya merupakan dua entitas yang
tidak bertautan. Dengan demikian fiqh sebenarnya memiliki elastisitas untuk
tumbuh dan berkembang sesuai dengan situasi pada tempat dan waktu tertentu,
sama halnya dengan ilmu hukum. Dalam persepsi yang demikianlah, syari’at (fiqh)
dapat dintrodusir dalam mengisi pembangunan hukum nasional Indonesia modern.
Pembahasan
Dalam perkembanganna selama ini seluruh
format struktur dan fungsi sistem hukum di Indonesia hanyalah dapat dipahami
dari perspektif paradigma epistemologik dan aksiologik sebagaimana telah
ditradisikan di Barat, dalam hal ini terkesan paling kuat adalah paradigma
positivisme. Hukum bukanlah lagi mesti dikonsepkan sebagai asas-asas moral
metayuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan malinkan ius yang
telah mengalami posisitivisasi sebagai lege atau lex guna
menjamin kepastian “apa yang terbilang hukum” dan “ apa pula yang sekalipun
normatif harus dinyatakan sebagal hal-hal yang bukan hukum”. Dalam posisi
seperti ini, negara (pemegang otoritas) menjadi sangat penting dalam menentukan
apa yang merupakan hukum dan apa yang tidak merupakan hukum. Norma agama, norma moral
serta adat istiadat tidaklah dianggap sebagai norma hukum. Sedangkan norma
hukum haruslah memiliki kekuatan mengikat dan memaksa dimana negaralah yang
menentukannya. Negaralah yang memproduk hukum dalam bentuk perundang-undangan.
Apa yang dimaksud dengan hukum adalah apa yang ada dalam perundang-undangan itu
(what it’s in the text) atau paling tidak memiliki dasar berlaku yang
bersumber dari undang-undang.
Peran
negara bagi pembentukan hukum dan apa yang merupakan hukum atau tidak merupakan
hukum nampak pada politik hukum yang dianut dalam sistem hukum Indonesia.
Pemerintahan Hindia Belanda menerapkan politik pluralisme hukum, dimana berlaku
hukum yang berbeda untuk golongan-golongan masyarakat Hindia Belanda yang
berbeda pula yaitu politik hukum adat (adatrechtpolitiek) yang berlaku
bagi golongan bumi putera. Hukum yang diintrodusir dari Belanda yang berlaku
bagi golongan Eropa dan golongan masyarakat lainnya yang menundukkan diri pada
hukum Eropa dan hukum masing-masing dari golongan Cina dan Timur Asing. Dengan
demikian Belanda menerapkan politik hukum majemuk dan mengabaikan unifikasi
hukum yang berlaku untuk seluruh Hindia Belanda.
Dengan
politik yang demikian apa yang disebut hukum yang berlaku di Hindia Belanda
adalah tergantung pada golongan hukum yang dianut. Hukum Adat lebih melihat
pada hukum yang hidup pada masyarakat hukum adat sedangkan hukum Eropa akan
melihat pada hukum tertulis yang ada diberlakukan oleh pemerintah Hindia
Belanda. Walaupun terdapat perbedaan sumber kekuatan berlaku dari kedua
kelompok hukum tersebut dari segi penekananya, tetapi dapat dikatakan bahwa
hukum adatpun sebagai hukum yang hidup barulah diakui sebagai hukum apabila
dinyatakan berlaku secara positif. Dengan demikian tetaplah dalam kerangka
berpikir politik hukum Belanda yaitu pada kerangka postisvisme hukum.
Walaupun
terdapat tantangan baru dari aliran baru pasca positivisme hukum, yaitu yaitu
apa yang disebut kaum social constructivis yang lebih melihat hukum dari sudut
kenyataan-kenyataan sosial yang non doktrinal-interdisiplin yang
merupakan perkembangan dari pendekatan hukum doktrinal-jurisprudensial
kalangan positivis, akan tetapi penulis harus kemukakan bahwa kenyataan yang
terjadi di Indonesia pengaruh kaum positivis itu adalah sangat kuat sebagai
pendekatan dalam melihat hukum di Indonesia.
Dengan
demikian wajarlah di negara kita, tarik menarik mengenai proses pembentukan
hukum dan politik hukumnya menjadi sangat kuat, karena warga negara kita sangat
heterogen. Hal ini akan terus berlanjut sampai negara ini mapan dengan sebuah
sistem hukum yang teruji pada masa-masa mendatang. Di sinilah masalahnya dimana
syari’at islam sebagai sumber hukum (fiqh) yang diyakini kebenarannya oleh
kalangan ummat islam dan harus diberlakukan. Bagi saya persoalan berlakunya
syari’at islam di Indonesia bukanlah semata-mata persoalan formalisasi atau
tidak, tapi karena peran negara dalam menentukan manakah yang terbilang hukum
itu dan mana yang tidak merupakan hukum telah menyentuh keyakinan agama yang
sangat mendalam dari warga masyarakat.
Pada
bagian sebelumnya telah dikemukakan bahwa Indonesia adalah termasuk kelompok
negara yang melakukan politik hukumnya secara tetap dan sistematis
(terprogram). Hal ini tentu disebabkan oleh kenyataan bahwa disatu pihak negara
Indonesia adalah dari negara eks jajahan Belanda yang meninggalkan hukum-hukum
kolonial yang berlaku di Indonesia – walaupun tidak seluruhnya hukum kolonial
itu jelek – hampir di seluruh aspek kehidupan. Pada pihak lain ada kehendak
untuk mengganti hukum-hukum kolonial itu dengan hukum baru produk Indonesia
merdeka dengan berpedoman pada cita negara (staatsidee) dan cita hukum (rechtsidee)
yang termuat dalam konstitusi (pembukaan UUD 1945). Disamping itu
pembentukan hukum itu terus berjalan dan disempurnakan, bahkan hukum yang
dibentuk setelah merdeka pun terus mengalami perubahan-perubahan sesuai
tuntutan perkembangan masyarakat dan negara.
Isi dan
corak politik hukum itu dapat berbeda antara satu dengan yang lain, karena
berbagai factor, antara lain : a) dasar dan corak politik; b) tingkat
perkembangan masyarakat; c) susunan masyarakat; serta d) pengaruh global.
Dasar
dan corak politik hukum Indonesia bersumber pada konstitusi (pembukaan UUD
1945), yang didalamnya mengandung cita negara, cita hukum dan dasar-dasar
politik hukum negara. Hukum ditujukan untuk mewujudkan kedailan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia, kemakmuran rakyat, memenuhi prinsip kemanusiaan,
serta dilandasi oleh demokrasi dan musyawarah yang seluruhnya dengan
menghormati ajaran agama. Dengan landasan itulah politik hukum dibangun dan
dikembangkan baik pada tataran tujuan maupun proses pembentukan hukum dalam
berbagai perundang-undangan. Karena pemahaman terhadap hukum di Indonesia yang
dipengaruhi oleh paham positivistik maka pada kenyataannya hukum
–khususnya peraturan perundang-undangan – adalah merupakan produk politik.
Sebagai
negara demokrasi – walaupun masih pada tahap demokrasi yang belum mapan –
proses pembentukan hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan
politik yang ada dan berbeda idiologi dan kepentingan politiknya. Hukum yang
lahir dari negara demokratis sangat dipengaruhi oleh kekuatan dan pendapat
rakyat melalui prosedur demokrasi, dan hal ini berbeda dengan negara otoriter
yang sangat dipengaruhi oleh pihak penguasa. Walaupun harus diakui, pada
kenyataannya pembentukan hukum sangat didomisasi oleh elit-elit politik yang
memiliki otoritas yang dianggap representasi rakyat dan dilain pihak
keterlibatan rakyat secara langsung yang masih minim.
Corak
pembentukan hukum juga sangat dipengaruhi oleh tingkat perkembangan masyarakat,
yaitu kenyataan sosial kemasayarakatn yang ada. Karena itu pendekatan dalam
pembentukan hukum disesuaikan dengan kondisi pragmatik masyarakat yang ada,
baik karena tingkat ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi serta
kepercyaan agama masyarakat Indonesia. Akan berbeda halnya dengan negara yang
memiliki corak masyarakat yang menganut nilai-nilai yang bebas, maka
pembentukan hukum itu hanya semata-mata ditujukan pada tujuan pembentukan hukum
saja. Pada negara yang mayoritas masyarakatnya menganut standar nilai-nilai
tertentu maka pembentukan hukum pun memperhatikan nilai-nilai dan keyakinan
yang hidup ditengah-tengah masyarakat itu. Pembentukan hukum yang menghormati
kepentingan masyarakat banyak dan menghormati nilai-bilai dan kepercayaan yang
mereka anut, itulah refleksi negara demokrasi yang sebenarnya.
Susunan
masyarakat Indonesia adalah sangat majemuk – plural – dan tidak homogen. Hal
ini tercermin dalam dalam semboyan “bhinneka tunggal ika”. Karena
susunan masyarakat yang demikianlah pembentukan hukum harus menghormati
keragaman itu, kepentingan satu pihak tidak dapat dipaksanakan pada pihak
lainnya. Dengan demikian cita-cita unifikasi hukum tidak bisa dipaksakan dan
haruslah ditinggalkan karena tidak sesuai dengan kenyataan sosial rakyat
Indonesia yang majemuk. Kericuhan pembangunan hukum selama selama ini sangat
dipengaruhi oleh cita-cita unifikasi hukum, yaitu satu hukum nasional yang
berlaku untuk semua kelompok masyarakat yang berbeda-beda. Akibatnya adalah
perebutan kekuatan politik dalam pembentukan perundang-undangan menjadi
menonjol. Pada kenyataannya selama ini, pemberlakuan hukum yang khusus bagi
ummat islam – seperti pada bidang kewarisan, wakaf, pernikahan yang seluruhnya
termasuk dalam kewenangan pengadilan agama – telah berjalan dan diterima baik
bahkan sejak jaman kolonial. Pola pemberlakuan secara khusus ini juga nampak
pada pemberlakuan syari’;at islam dengan undang-undang otonomi khusus yang
berlaku di Naggroe Aceh Darussalam.
Pada
tataran yang lebih umum dalam bidang ekonomi lahir berbagai regulasi dan
perundang-undangan yang memungkinkan diberlakukan syari’at islam (fiqh) yang
terkait dengan transaksi ekonomi. Demikian juga dalam bidang hukum lainnya,
termasuk rancangan hukum pidana nasional yang sedang diperdebatkan sekarang ini
mulai memperhatikan aspek-aspek terkait dengan hukum islam. Sebaliknya jika
syariat (fiqh) ini tidak bisa berlaku umum bagi seluruh rakyat Indonesia adalah
sangat mungkin memperluas pemberlakuan hukum islam pada aspek-aspek lain yang khusus
berlaku bagi penganut agama Islam. Jika terjadi konflik antar kelompok
masyarakat yang menganut hukum yang berbeda, dikembangkan hukum antar tata
hukum yang pernah berkembang pada masa yang lalu.
Politik
hukum juga harus memperhatikan perkembangan global terutama perkembangan
ekonomi, iptek dan hubungan antara negara yang semakin tidak lagi memiliki
tapal batas antar negara. Akomodasi terhadap perkembangan glogal tidak
diartikan sebaga penerimaan penuh pada apa yang berkembang di negara-negara
lain, akan tetapi harus diartikan sebagai proses adaptasi dan penyesuaian yang
tidak meninggalkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai serta kepercayaan yang
berkembang kuat dalam masyarakat kita. Penerimaan nilai-nilai baru dengan cara
revolusioner akan menimbulkan goncangan yang seharusnya dihindari dalam
masyarakat. Disinilah pintu masuknya hukum-hukum ekonomi yang sangat berkembang
dari karakter hukum Anglo Saxon yang sangat berpengaruh dalam perkembangan
hukum nasional Indonesia.
Penutup
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa hukum yang ada di Indonesia
lebih condong menggunakan hukum posistvisme yang berkembang di Barat, sebagian
kalangan muslim mengatakan bahwa hukum tersebut didalamnya mengandung syariat,
dan sebagian lain menganggap bahwa tidak ada syaraiat didalamnya karena nampak
jelas tidak ada penegasan syariat dalam hukum tersebut.
Wallahu
a`lamm...
Comments
Post a Comment