POLITIK SEBAGAI PENGARUH LAHIRNYA ALIRAN TEOLOGI ISLAM
I.
PENDAHULUAN
A. Perkembangan Politik
Khulafaurrasyidin
Rasulullah
adalah pemimpin agama sekaligus pemimpin politik negara. Jadi, kebijakan agama
dan negara ditentukan sendiri oleh beliau, tanpa ada bantahan dari masyarakat,
namun ketika Rasulullah meninggal dunia, beliau tidak mengangkat seorang
pengganti, tidak pula menentukan cara pemilihan penggantinya. Karena itu di
saqifah bani sa’idah terdapat perslisihan antara sahabat muhajirin dan ansar,
masing-masing menghendaki supaya pengganti rasul dari pihaknya. Dalam tengah
kesibukan itu, Umar r.a membai’at Abubakar r.a. menjadi khalifah yang kemudian
diikuti oleh sahabat-sahabat lainnya.[i]
Dalam kurun waktu kurang lebih 2 tahun menjabat khalifah, Abu
Bakar sakit keras dan merasa bahwa ajalnya telah dekat, ia segera memutuskan
untuk mengangkat Umar bin Khatab menjadi khalifah dengan tujuan kejadian
seperti di saqifah bani sa’idah tidak terulang kembali, dan akhirnya Umar bin
Khatabpun menjabat khalifah.2
Umar bin Khatab menduduki kursi
khalifah selama kurang lebih 4 tahun, dan ketika beliau merasa sakit parah
akibat percobaan pembunuhan yang dilakukan oleh Abu Lu’lu’ah, beliau didesak
secara terus menerus oleh sebagian sahabat untuk menentukan penggantinya,
akhirnya beliau menyuruh 6 orang sahabat yaitu Utsman bin ‘Affan, Ali bin Abi
Thalib, Zubair bin Awam, Sa’ad bin Waqqas, Abdurahman bin Alif dan Thalhah bin
Ubaidillah untuk bermusyawarah dalam menentukan pengganti beliau, dan akhirnya
walaupun tanpa mendapat restu dari Umar Utsman bin’Affan terpilih menjadi
khalifah.3
Ketika Utsman menjabat khalifah,
paham nepotisme mulai diterapkan, terbukti dengan pengangkatan
saudara-saudaranya untuk menjabat gubernur di daerah kekuasaan islam, ini
dilakukan mungkin untuk menumbuhkan suasana egaliter dalam pemerintahan,
sehingga memudahkan Utsman dalam memberikan saran, kritik dan bahkan hukuman
kepada mereka. Apapun alasan Utsman, yang jelas dengan sikapnya itu menuai
banyak protes dari masyarakat, apalagi mengingat kebijakan politik Utsman dan
para pejabatnya yang tidak berpihak pada rakyat, walaupun sering diprotes,
aspirasi mereka tak pernah dihiraukan oleh Utsman, dan dengan sikap inilah yang
membuat mereka melakukan pemberontakan dan berhasil membunuh Utsman.
B. Bintik-bintik perpecahan pada tubuh umat islam
Selanjutnya kematian Usman itu telah
menimbulkan malapetaka besar dalam tubuh umat islam, karena sejak itu pintu
bagi masuknya pengaruh hawa nafsu untuk berpecah-belah dan bergolong-golongan
serta berebut kekuasaan telah terbuka lebar. Sejak saat itu perang diantara
umat islam sering terjadi dan sulit dihentikan, bahkan menurut Abdullah bin
Salam bahwa dengan terjadinya pembunuhan terhadap Usman itu, kaum muslimin
telah membuka pintu bencana bagi mereka sendiri dan tidak akan tertutup lagi
hingga hari kiamat.4
Setelah terjadi peristiwa tragis yang
menimpa khalifah Utsman, Ali bin Abi Thalib dipilih dan dibai’at sebagai
khalifah pengganti Utsman bin ‘Affan. Penunjukan ini mendapat legitimasi kuat
dan luas dari kalangan umat islam, terutama dari masyarakat lapisan bawah (gras
root). Mereka secara spontan dan berbondong-bondong mendatangi dan meminta
kesediaan Ali untuk ditunjuk menjadi khalifah .
Pada mulanya Ali menolak penunjukan
ini karena di antara massa yang hadir tidak terdapat seorangpun Ahl Syura atau
ahl badr. Padahal menurut Ali, pada saat itu siapa yang disetujui oleh Ahl
Syura atau ahl badr, maka
dialah yang lebih berhak untuk menjabat khalifah, namun desakan dari massa
tersebut semakin kuat dan mereka bersikeras agar Ali bersedia di bai’at
sehingga Ali tidak punya pilihan lain kecuali menerima bai’at tersebut.5
II.
PEMBAHASAN
1. Persengketaan Ali dengan pihak oposisi
A. Perang Jamal
Sebelum terjadi pertentangan, mula-mula Ali mengirim surat kepada
Muawiyah untuk pembai’atannya, namun Mu’awiyah membalasnya dengan sepucuk surat
kosong. Oleh karena itu di Madinah, Mu’awiyah dipandang sebagai seorang durhaka
dan halal darahnya. Mu’awiyah sendiri
telah cukup persiapan untuk menyerang Ali dengan alasan menuntut bela atas
darahnya Usman, karena dialah yang lebih berhak atas itu.
Sementara
itu, Thalhah, Zubair, dan Aisyah bermaksud pula menyerang Ali. Mereka telah
berangkat ke Basrah mengatur tentara untuk melawan Ali dengan dalih yang tidak
jauh beda dengan Mu’awiyah. Rencana Thalhah, Zubair, dan Aisyah tersebut dapat
diketahui Ali melalui amir bashrah, yaitu Usman ibn Hanaif. Akhirnya Ali
menunda niatnya yang akan menyerang Syam dan berbelok ke Bashrah lebih dahulu
karena kekuatannya lebih kecil.
Pertama-tama
Ali mengusahakan supaya Aisyah dan pengikut-pengikutnya mengurungkan maksud
mereka dan mengingatkan sebagian dari mereka supaya mengangkat sumpah setia dan
pembai’atan kepadanya. Perundingan hampir berhasil, namun dipecahkan oleh
kelompok saba’iyah. Maka terjadilah pertempuran antara dua golongan kaum
muslimin yang terkenal dengan perang jamal (unta), karena pada saat itu siti Aisyah
menunggang unta.
Dari
keterangan-keterangan diatas, tampak bahwa Ali tidak menginginkan peperangan
melawan Aisyah, Thalhah, dan Zubair karena sasarannya adalah Syam, bukan
Bashrah. Betapapun Ali menghindari pertempuran melawan Aisyah tetapi peperangan
terjadi, apalagi setelah dihasud oleh pihak ketiga yaitu golongan saba’iyah.6
B. perang siffin
Setelah selesai perang di Bashrah, Ali mengirim tentaranya, Jarir bin Abdullah al-Ballaji ke
Syam untuk menemui Mu’awiyah agar bersedia membai’at Ali, namun berdasarkan
nasihat Amru bin ‘Ash, Mu’awiyah tidak boleh membai’at Ali sebelum Ali
mengungkap kasus kematian Usman, dan jika tidak terungkap, yang terjadi
bukanlah bai’at melainkan perang. Ali menganggap perang tidak dapat terelakan
lagi7. Akhirnya terjadilah peperangan antara
Ali dengan Muawiyah. Ketika Ali hampir memenangkan pertempuran, kelompok Mu’awiyah
yang dipimpin oleh Amru bin Ash mengangkat Al-Qur`an sebagai isyarat damai.
Ali sudah berkeyakinan bahwa hal itu hanyalah tipuan
saja. Namun sebagian pihaknya tidak mau meneruskan peperangan dan mengancam
akan membalikan senjatanya ke arah Ali jika meneruskan peperangan, karena
mereka melihat simbol perdamaian. Melihat suara pengikutnya akan pecah akhirnya
Ali terpaksa menghentikan peperangan.
Untuk
menyelesaikan persengketaan kelompok Ali dengan Mu’awiyah, maka diadakan tahkim
(arbitrase) yang dilakukan di sebuah daerah bernama shiffin. Dalam tahkim
tersebut diangkat dua orang, kelompok Ali diwakili oleh Abu Musa Al-asy’ari
dan kelompok Mu’awiyah diwakili oleh Amr bn Ash.8
Tradisi menyebutkan bahwa Abu Musa sebagai yang tertua berdiri mengumumkan
kepada orang ramai tentang putusan menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan
itu. Hal ini berbeda dengan apa yang Amru bin ‘Ash umumkan. Ia hanya menyetujui
penjatuhan Ali yang telah diumumkan al-Asy’ari, dan menolak penjatuhan
Mu’awiyah.9 bagaimanapun peristiwa tersebut
merugikan Ali dan menguntungkan bagi Mu’awiyah, sebab dengan tahkim ini
kedudukan Muawiyah naik menjadi khalifah yang tidak resmi. Tidak mengherankan
kalau putusan ini ditolak oleh Ali dan tidak mau meletakkan jabatannya, sampai
ia terbunuh pada tahun 661 M. Persoalan-persoalan dalam lapangan politik
tersebut akhirnya membawa kepada persoalan-persoalan teologi. Timbullah persoalan
siapa yang kafir dan yang bukan kafir dalam arti siapa yang telah keluar dari
islamdan siapa yang masih tetap dalm islam.10
2. kelahiran aliran teologi
A. Khawarij
Sebagian dari pasukan Ali memandang
Ali bin Abi Thalib telah berbuat salah, dan oleh karena itu mereka meninggalkan
barisannya, golongan inilah yang terkenal dengan nama al-Khawarij. mereka
memandang bahwa Ali, Muawiyah. Amr bin Ash Abu musa al-asyari dan lain-lain
yang menerima tahkim adalah kafir. Karena Alquran mengatakan:
وﻣﻥﻠﻢﻴﺤﻛﻡﺒﻣﺎﺃﻨﺰﻞﺍﷲﻔﺄﻭﻟﺌﻚﻫﻢﺍﻟﻛﺎﻔﺮﻭﻦ
Dan inti keyakinan mereka adalah
bahwa orang yang melakukan dosa besar adalah kafir, dalam arti keluar dari islam
atau tegasnya murtad dan oleh karena itu mereka wajib dibunuh11
- Murji’ah
Sebagai respon dari golongan
khawarij, maka lahirlah murji'ah yang menyatakan bahwa orang-orang yang
melakukan tahkim tersebut masih mu’min, adapun soal dosa besar yang mereka
buat, itu ditunda penyelesainnya ke hari perhitungan kelak. Argumentasi mereka
dalam hal ini ialah bahwa orang islam yang berdosa besar tetap mengakui Allah
sebagai tuhan dan Muhammad sebagai utusan-Nya, denga kata lain orang itu tetap
mengucapkan kedua syahadat yang menjadi dasar utama dari islam. Oleh karena
itu, orang yang berdosa besar tetap mukmin dan bukan kafir.12
III.
PENUTUP
Pada masa
selanjutnya, keyakinan yang bermula dari tahkim tersebut merambat ke masalah
kehidupan yang lainya dan juga banyak bermunculan golongan-golongan baru,
seperti aliran qadariyah, jabariyyah, mu’tazilah dan ahlussunah wal jamaa’ah.
Wallahua’lam…
DAFTAR PUSTAKA
Fadlali, Ahmad dkk, Sejarah Peradaban
Islam,(Pustaka Asatruss: Jakarta, 2004), cet.I
Hamka, Sejarah umat Islam(edisi baru),
(pustaka nasional pte ltd:Singapura, 1997), cet.II
Hanafi, Ahmad, theology islam (ilmu
kalam), (PT.Bulan Bintang:Jakarta, 1991), cet.IX
Nata, Abudin, Ilmu
kalam, Filsafat dan Tasawuf, (PT.RajaGrafindo Persada:Jakarta, 2001, Cet.V
Nasution, Harun,
TEOLOGI ISLAM:Aliran-aliran sejarah analisa perbandingan, UI-Press:Jakarta, 2002,
Edisi II, cet.I
[i] Ahmad Hanafi M.A, THEOLOGY ISLAM (ILMU KALAM), PT.Bulan
Bintang:Jakarta, 1991 cet.IX, hal.7-
2 Ahmad Fadlali dkk, Sejarah Peradaban Islam, Pustaka
Asatruss: Jakarta, 2004, cet.I, hal.23
3 Ahmad Fadlali dkk, Sejarah Peradaban Islam,cet.I hal. 34
4 Abudin Nata, Ilmu kalam, Filsafat dan Tasawuf,
PT.RajaGrafindo Persada:Jakarta 2001, Cet.V, hal.13
5 Ahmad Fadlali dkk, Sejarah Peradaban Islam, cet.I, hal.42
6 Ahmad Fadlali dkk, Sejarah Peradaban Islam, hal. 45
7 Hamka, Sejarah umat Islam(edisi baru),PUSTAKA NASIONAL PTE
LTD:Singapura;1997. cet.II, hal.242-243
8 Ahmad Fadlali dkk, Sejarah Peradaban Islam, cet.I, hal.46
9 Abudin nata, Ilmu kalam, filsafat dan tasawuf ,hal 16
10 Harun Nasution, TEOLOGI ISLAM:Aliran-aliran sejarah analisa
perbandingan, UI-Press:Jakarta, 2002, Edisi II, cet.I, hal.7-8
11 Harun Nasution, TEOLOGI ISLAM:Aliran-aliran sejarah analisa
perbandingan, hal.8-9
12 Harun Nasution, TEOLOGI ISLAM:Aliran-aliran sejarah analisa
perbandingan, hal.24
Comments
Post a Comment